Bagus Takwin: Aku Bahagia Karena Telah Menulis Buku

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Rabu, 04 Agustus 2010


(Wawancara ini saya temukan ketika sedang blog walking ke blognya Kang Wartax (Anwar Holid). Menurut saya wawancara ini menarik sekali jika saya masukkan ke www.SindikatPenulis.com. Akhirnya saya minta izin ke Kang Wartax, dan alhamdulillah beliau mempersilakannya. So, check it out!)
____________________________________

Oleh: Anwar Holid

PENGANTAR: Wawancara ini sebenarnya sudah berlangsung lama, kira-kira akhir 2005. Awalnya mau saya olah sebagai artikel untuk Matabaca, tetapi karena terbengkalai terus, akhirnya saya biarkan apa adanya—hanya sedikit disunting agar keterbacaannya lebih baik. Semoga bermanfaat.


Kira-kira berapa jumlah koleksi buku kamu?
Kalau dikira-kira, secara kasar kuhitung jumlah koleksi bukuku ada sekitar 6500 judul. Tentu saja banyak yang belum aku baca. Belakangan ini kecepatan bacaku jauh lebih rendah dari kecepatanku membeli buku. Jenis bukunya beragam, kebanyakan sastra (novel, kumpulan cerpen, dan puisi), filsafat, dan psikologi. Sejarah, agama dan sosiologi cukup banyak. Ada beberapa biografi, biologi, antropologi, statistik, matematika, fisika, dan buku travelling. Aku masih punya belasan komik, kebanyakan Calvin and Hobbes.

Siapa penulis favorit kamu? (misal karena cara menulis, kemampuan menafsirkan atau menalar.)
Dari penulis fiksi, aku suka Gabriel García Márquez, Ben Okri, Italo Calvino, dan Milan Kundera karena mereka memberi wawasan yang luas tentang pengolahan kata, cerita dan ide, termasuk bagaiman mengolah pikiran dengan bahan realitas dan imajinasi. Mereka pun lincah menalar secara metaforik dan mampu menafsirkan berbagai gejala di sekitarnya menjadi keindahan dalam tulisan.

Bagi kamu pribadi, apa secara finansial dunia kepenulisan cukup menjanjikan dan bisa diandalkan?
Kalau sekarang, menulis hanya memberi sedikit penghasilan finansial. Sebenarnya kalau di-manage dengan baik dan sungguh-sungguh, dunia kepenulisan di Indonesia sudah bisa menjamin nafkah hidup pantas secara sederhana. Untuk jadi kaya belum bisa.

Apa buku favorit kamu? (paling sering dibaca, sering dikutip, sangat inspiratif bagi proses kepenulisan)
Sulit menjawab ini karena tak pernah kupastikan dalam kegiatan membacaku. Aku sempat lama suka membaca ulang Catatan Pinggir Goenawan Mohamad jilid 1-5. Kumpulan esai itu seperti jendela informasi bagiku, terutama informasi tentang buku dan pemikiran tokoh-tokoh dunia. Belakangan sudah jarang baca Caping, paling baca di Tempo setiap minggu.
Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono Hujan Bulan Juni dan Kumpulan Puisi Goenawan Mohamad terbitan Metafor masih sering kubaca setiap kali ada waktu. Beberapa kali mereka kukutip dalam tulisanku, terutama Sapardi.

Aku beberapa kali membaca Little Prince dari Antoine de Saint-Exupéry.

Yang jelas-jelas paling banyak kubaca dan sering kukutip secara tulisan maupun lisan adalah buku Ernst Cassirer, An Essay on Man, sebab selain bagus dan aku suka, buku itu juga kupakai buat mengajar. Bagiku Cassirer sangat inspiratif baik dari gagasan maupun teknik menulis serta cara memaparkan dan memanfaatkan informasi.

Sekarang aku juga suka buku From Text to Action dari Paul Ricouer, kuulang-ulang baca karena inspiratif dalam mempertemukan dua pendekatan dalam peroleh pengetahuan. Aku mau coba terapkan itu di psikologi.

Buku apa yang paling susah dipahami, namun sangat menantang? Kenapa demikian?
Sekarang aku sedang berusaha memahami buku Edmund Husserl berjudul Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology yang menurutku susah (sebenarnya juga buku filsuf-filsuf fenomelogi lainnya.) Dulu aku pernah baca asal lewat kecuali bagian-bagian yang kubutuhkan untuk membuat tesis. Sekarang aku ingin memahami secara komprehensif sebab aku perlu pemahaman mendalam tentang fenomenologi yang akar pemikirannya ada di buku ini.
Saat ini pendekatan fenomenologi, terutama tentang intentionality, banyak digunakan membahas banyak gejala kemanusiaan, baik individual maupun kelompok. Beberapa pemikir kontemporer juga mencoba mensintesiskan pemikiran fenomenologi dengan pemikiran-pemikiran lain, seperti Giddens dengan 'Third Way'-nya, Bourdieu dengan habitus dan field, lalu para ahli kesadaran (consciousness) yang mencoba mempertemukan fenomenologi dengan berbagai pendekatan dalam ilmu kognitif. Buku Ideas menantang sekaligus juga bermanfaat untuk dipahami meski sulitnya minta ampun.

Sebelumnya aku pernah setengah mati baca De Anima dari Aristoteles.

Sebenarnya buku-buku sastra klasik juga sulit dan menantang untuk dibaca. Homer, Shakespeare, dan karya-karya sastrawan-sastrawan Rusia menuntut ketabahan dan kejelian yang tinggi untuk membacanya. Kalau sudah ketemu 'enaknya', asyik sekali membaca semua itu, tetapi sebelumnya butuh daya konsentrasi tinggi.

Apa komentar kamu tentang menulis fiksi dan nonfiksi? Kenapa kamu tetap berada di dua ranah kepenulisan itu?
Menulis fiksi membebaskanku untuk menuangkan pengalaman, termasuk khayalan dan mimpi-mimpiku. Tantangannya adalah membuat cerita atau pemaparan menarik, unik atau paling tidak memuaskan ekspresiku, melepas ketegangan yang ada di hati dan pikiran.

Sementara menulis nonfiksi membutuhkan sistematika berpikir yang ketat dan teratur. Aku perlu membuat alur dan kerangka terlebih dahulu, menyiapkan bahan-bahan yang mungkin dibutuhkan dan mencoba mencari relevansi praktis dan teoritis dari tulisanku. Disiplin berpikir literal (logika dan metodologi) lebih dituntut dalam menulis nonfiksi. Sedangkan fleksibilitas dan disiplin metaforik (perumpamaan yang bernas dan imaji yang menyentuh pembaca) lebih dituntut dalam menulis fiksi. Sebenarnya aku belum bisa optimal dalam keduanya (masih bisa dibilang jelek dalam keduanya. Aku akan belajar terus, latihan menulis terus (syukur-syukur hasil latihannya diterbitkan seperti yang lalu-lalu).

Aku menulis keduanya karena keduanya kuminati dan proses pembuatannya mengaktifkan kedua belahan otakku serta membantuku peka dalam memahami diri dan sekitarku. Keduanya membantuku menjelaskan dunia secara enklaren (penjelasan dan penemuan hukum umum) maupun verstehen (pemahaman terhadap gejala-gejala khusus, terutama gejala humaniora)

Persiapan apa yang paling penting dalam menulis?
Kalau dari pengalamanku sih secara umum banyak baca. Lalu, secara khusus penting untuk meningkatkan sensitivitas. Dari segi teknis, sangat penting tersedia rokok dan kopi serta air putih supaya tetap bisa menulis sambil mendapat kenikmatan kopi dan rokok serta terus minum air agar ginjal tidak rusak. (Kalau kebelet ke kamar mandi, jangan ditahan-tahan, kalau ditahan malah nanti ganggu mood.)

Bagaimana kebiasaan membaca dan menulis kamu? Berapa jam kamu alokasikan waktu untuk menulis?
Sekarang, kebiasaan menulis dan membacaku tidak tetap. Tetapi dalam satu hari pasti ada yang aku baca dan tulis. Kira-kira paling tidak 2 s/d 3 jam aku membaca dan menulis materi-materi yang bukan jadi pekerjaan wajibku. (Sebenarnya aku bisa sampai 6 jam membaca bahan pelajaran dan materi tambahan bagi mata kuliah yang aku ajar, lalu menulis beberapa catatan yang penting; aku mengajar setiap hari dari Senin sampai Jumat.) Biasanya sebelum tidur aku sempatkan membaca buku, jika ada yang menarik aku tulis, membuat catatan atau ide-ide yang terlintas.

Apa yang menurutmu kurang dalam dunia perbukuan Indonesia sekarang?
Di Indonesia tidak ada reviewer buku yang memadai. Informasi tentang buku baik kurang sehingga sulit bagi aku menemukan buku-buku baru yang baik tanpa membeli atau meminjam lebih dahulu. Aku tahu satu buku bagus atau tidak setelah membacanya. Kita juga kekurangan kritikus buku. Kritikusnya pada snob, sok tinggi padahal kebanyakan malas membaca dan egois. Tak ada lagi H.B. Jassin yang rendah hati dan mau membimbing penulis muda. Kritikus sekarang kebanyakan penikmat yang dipenjara oleh seleranya. Pemahaman dan wawasan mereka kurang. Teori-teori yang mereka pakai kuno. Analisisnya linear atau bergaya 'tukang periksa'. Beberapa hanya senang menanggapi tulisan teman sendiri seideologi atau sepermainan.
Saat ini juga belum saya temukan sastrawan baru yang karyanya mengagumkan di Indonesia; belum banyak kritikus yang tajam. Saya menemukan Melani Budianta saja. Yang lainnya entah di mana.

Kebiasaan dan sifat apresiatif belum terbentuk di sini. Selain itu, kurang banyak penerbit yang berani mencoba menjajaki penulis-penulis baru dengan membiayai riset mereka. Kebanyakan penerbit hanya mau enaknya, menerima yang sudah jadi. Nama lebih dipentingkan daripada kualitas karya. Kebanyakan penerbit malas. Banyak lagi sih, kupikir, kekurangan kita. Tetapi kemajuan yang kita capai beberapa tahun ini juga patut dipuji. Dunia perbukuan kita sudah bangkit dan melangkah maju. Mudah-mudahan kekurangan yang aku sebut tadi bisa dibenahi.

Bibliografi lengkap kamu apa saja?
Aku tuliskan yang buku sendiri saja ya dan ada dengan beberapa teman. (Ada beberapa tulisan dalam kumpulan yang diterbitkan Kompas, termasuk 16 tulisan tentang analisis kepribadian Capres dan Cawapres; juga dalam kumpulan Bentara; tapi aku tak terlalu ingat.
  1. Pecahan Jakarta; Kumpulan cerpen bersama Kristi Purwandari; Konsepsi, 1999, Jakarta.
  2. Fuad Hassan di Antara Hitam-Putih; editor/penyunting; Konsepsi, 1999, Jakarta.
  3. Soeharto; Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat; hasil penelitian bersama Niniek L. Karim dan Hamdi Muluk; Komunitas Bambu, 2001, Jakarta.
  4. Filsafat Timur; Pengantar ke Pemikiran-pemikiran Timur; Jalasutra, 2002 dan 2003, Yogyakarta.
  5. Bermain-main dengan Cinta; Jalasutra, 2002 dan 2003, Yogyakarta.
  6. Akademos; Jalasutra, 2002 dan 2003, Yogyakarta.
  7. Patogonos; Esei yang mengisahkan hidup sepasang manusia; Kutu Buku, 2005, Jakarta.
  8. Ruwita, Novel; Penerbit Qolibri, 2005, Jakarta.
  9. Rhapsody Ingatan, Kumpulan Cerpen, Qolibri, 2005, Jakarta.
  10. Kesadaran Plural - Sintesis Kehendak Bebas dan Rasionalitas; Jalasutra, 2005, Yogyakarta.
  11. Akar-akar Ideologi; Jalasutra, 2002, Yogyakarta.
Apa yang dulu memotivasi kamu menulis dan menyelesaikan buku?
Ingin punya karya yang bisa dibanggakan dan bertahan lama. Awalnya karena aku kagum kepada para penulis yang karyanya memukau aku. Aku pikir, asyik juga ya punya karya tulis yang dibaca dan disenangi orang. Kupikir itu akan membahagiakanku. Ternyata sekarang aku merasa bahagia setiap ada yang mengomentari atau menulis e-mail dan bilang menikmati bukuku. Aku merasa bahagia karena telah menulis buku.

Ada juga harapan kecil yang terus kukumandangkan ketika bicara santai (sedikit bercanda) dengan teman-teman, aku ingin dapat Nobel Sastra, kemungkinan dari tulisan filsafatku.

Biasanya kutambah juga, "Gue ingin dapat Nobel biar bisa menolak hadiah itu, ha ha ha!" Tapi dalam hatiku ternyata keinginan itu ada juga meski tampak tidak realistik.

Buku apa yang paling berkesan yang pernah kamu tulis?
Bermain-main dengan Cinta dan Patogonos.

Suasana seperti apa yang paling kondusif untuk menulis?
Ketika teman-teman pulang dan mereka menyisakan kegembiraan, renungan dan perhatiannya kepadaku. Apa yang mereka berikan padaku mendorongkan menuliskan sesuatu. Kalau dilihat dari waktu, pagi hari sekitar jam 6 s/d 11 paling kondusi bagiku untuk menulis. Oleh karena itu, aku sering telat berangkat ke kantor.

Sebagai penulis, apa yang paling kamu harapkan dari penerbit?
Penerbit menyebarluaskan dan mempromosikan buku-bukuku. Mencarikan penanggap yang serius dan menyelenggarakan diskusi dengan isi bukuku sebagai topiknya. Penerbit juga mestinya menjaga kesejahteraan penulisnya serta mendorong, mendukung, memfasilitas (materi, mental, dan kultural) para penulisnya untuk berkembang.

Punya pengalaman menarik selama menulis? Misalnya writer's block?
Setelah bisa menulis satu cerpen dan esai, rasanya tidak pernah. Kalau pun terhenti atau tidak bisa menulis tidak kuanggap sebagai block tetapi kuanggap sudah tiba waktunya berhenti, istirahat dan jalan-jalan atau nonton film. Aku tidak ngoyo menulis dan sering mengabaikan dead-line (biasanya penerbitku mengerti ini) jadi tidak merasa terhambat jika tidak lancar menulis. Aku punya banyak sekali kegiatan yang menyenangkan sehingga jika terhambat mengerjakan yang satu, aku pindah ke kekgiatan lain. Hidup seperti itu menyenangkan bagiku.

Semoga jawabanku membantu menjelaskan. Selamat menulis.[]

Bagus Takwin ngeblog di http://bagustakwin.multiply.com/
Anwar Holid, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com/


Betulkah Bentuk Mengkritisi?

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On

(Ilustrasi: Ella Dallus)

Oleh: J.S. Badudu

Menggunakan bahasa secara tepat dan benar tidaklah mudah. Tentu saja diperlukan pengetahuan tentang bahasa itu melalui pelajaran khusus. Pengetahuan berbahasa secara alami saja tidak cukup. Di sekolah, guru mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana bahasa yang benar tentang makna kata, bentuk kata, dan susunan kata dalam kalimat.

Ada dua segi bahasa yang utama, yakni bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan isi adalah makna, arti, atau maksud yang terkandung dalam bentuk bahasa itu. Bentuk dan isi tentu harus sejalan. Kalau bentuk salah, misalnya susunan kata-kata dalam kalimat tidak teratur sesuai dengan struktur kalimat, arti atau maksud kalimat itu akan kabur atau tidak dapat dipahami.

Mari kita tinjau sepatah kata yang sering dipakai orang, padahal kata itu salah bentuknya. Yang saya maksud adalah kata “mengkritisi”. “Dia mengkritisi bahasa saya” bukanlah kalimat yang benar. Kata “kritisi” adalah kata bentuk sebagai bentuk jamak dari “kritikus” — orang yang ahli mengkritik. Baik kata “kritikus”, maupun kata “kritisi”, berasal dari kata “kritik”.

Kata “kritik” dipungut dari bahasa Belanda yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata “kecaman”. Kata kerjanya ialah “mengkritik” atau “dikritik”. Berikut adalah contoh pemakaiannya.
  1. Tabiat manusia pada umumnya suka “mengkritik”, tetapi tidak senang bila “dikritik”.
  2. Alm. H.B. Jassin adalah seorang “kritikus” sastra yang terkenal.
  3. “Kritisi” sastra Indonesia sangat sedikit, malah boleh dikatakan orang yang melakukan kerja “kritik” secara teratur, seperti H.B. Jassin, hampir tidak ada.
Dengan penggunaannya dalam kalimat seperti pada contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana penggunaan kata-kata itu secara benar dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia tidak ada bentuk kata kerja “mengkritisi” dan “dikritisi”. Kedua bentuk itu adalah bentuk yang salah kaprah. Jadi, jangan digunakan. Contoh lain seperti itu, misalnya “politik”, “politikus”, dan “politisi”.

Kesalahan kedua yang sering kita jumpai dalam tulisan-tulisan dewasa ini ialah bentuk kata “berpetualang”. Kata ini dibentuk dari kata dasar “tualang”, diberi awalan pe-, lalu diberi lagi awalan ber-. Kata “petualang” berarti orang yang bertualang. Kata ini tidak mungkin diberi lagi awalan ber- karena maknanya tidak sesuai dengan nalar.

Sebagai bandingannya, dapatkah kata “pedagang” dan “petani” diberi awalan ber-, menjadi “berpedagang” dan “berpetani”? Tidak mungkin, bukan? Itu sebabnya bentuk “berpetualang” bukanlah bentuk yang benar.

Dari bentuk dasar “tualang” (yang tidak dapat digunakan tanpa imbuhan) muncul kata “bertualang” sebagai kata kerja. Orang yang “bertualang” disebut petualang dan pekerjaannya itu sendiri disebut “petualangan”. Hanya ada tiga kata bentukan dari bentuk dasar kata “tualang” itu, tidak ada bentuk yang lain lagi.

Contoh lain seperti tualang ialah “ungsi”. Bentuk ini tidak dapat dipakai sendiri tanpa imbuhan. Hanya muncul sebagai “mengungsi”, “pengungsi”, “mengungsikan”, “diungsikan”, “pengungsian”, dan mungkin juga bentuk “terungsikan”.

Berikut contoh dalam kalimat.
  1. Korban bencana alam itu “mengungsi” ke tempat yang aman.
  2. Para “pengungsi” terdiri atas laki-laki dan perempuan, bahkan orang-orang yang sudah tua dan anak-anak.
  3. Pemerintah “mengungsikan” semua penduduk dari daerah bencana itu.
  4. Jumlah orang yang “diungsikan” lebih dari seribu orang.
  5. Tempat “pengungsian” tidak hanya satu, tetapi beberapa.
  6. Orang yang “terungsikan” merasa bersyukur karena luput dari bencana gempa dan tsunami itu.


Related Posts with Thumbnails
Diberdayakan oleh Blogger.