Bagus Takwin: Aku Bahagia Karena Telah Menulis Buku

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Rabu, 04 Agustus 2010


(Wawancara ini saya temukan ketika sedang blog walking ke blognya Kang Wartax (Anwar Holid). Menurut saya wawancara ini menarik sekali jika saya masukkan ke www.SindikatPenulis.com. Akhirnya saya minta izin ke Kang Wartax, dan alhamdulillah beliau mempersilakannya. So, check it out!)
____________________________________

Oleh: Anwar Holid

PENGANTAR: Wawancara ini sebenarnya sudah berlangsung lama, kira-kira akhir 2005. Awalnya mau saya olah sebagai artikel untuk Matabaca, tetapi karena terbengkalai terus, akhirnya saya biarkan apa adanya—hanya sedikit disunting agar keterbacaannya lebih baik. Semoga bermanfaat.


Kira-kira berapa jumlah koleksi buku kamu?
Kalau dikira-kira, secara kasar kuhitung jumlah koleksi bukuku ada sekitar 6500 judul. Tentu saja banyak yang belum aku baca. Belakangan ini kecepatan bacaku jauh lebih rendah dari kecepatanku membeli buku. Jenis bukunya beragam, kebanyakan sastra (novel, kumpulan cerpen, dan puisi), filsafat, dan psikologi. Sejarah, agama dan sosiologi cukup banyak. Ada beberapa biografi, biologi, antropologi, statistik, matematika, fisika, dan buku travelling. Aku masih punya belasan komik, kebanyakan Calvin and Hobbes.

Siapa penulis favorit kamu? (misal karena cara menulis, kemampuan menafsirkan atau menalar.)
Dari penulis fiksi, aku suka Gabriel García Márquez, Ben Okri, Italo Calvino, dan Milan Kundera karena mereka memberi wawasan yang luas tentang pengolahan kata, cerita dan ide, termasuk bagaiman mengolah pikiran dengan bahan realitas dan imajinasi. Mereka pun lincah menalar secara metaforik dan mampu menafsirkan berbagai gejala di sekitarnya menjadi keindahan dalam tulisan.

Bagi kamu pribadi, apa secara finansial dunia kepenulisan cukup menjanjikan dan bisa diandalkan?
Kalau sekarang, menulis hanya memberi sedikit penghasilan finansial. Sebenarnya kalau di-manage dengan baik dan sungguh-sungguh, dunia kepenulisan di Indonesia sudah bisa menjamin nafkah hidup pantas secara sederhana. Untuk jadi kaya belum bisa.

Apa buku favorit kamu? (paling sering dibaca, sering dikutip, sangat inspiratif bagi proses kepenulisan)
Sulit menjawab ini karena tak pernah kupastikan dalam kegiatan membacaku. Aku sempat lama suka membaca ulang Catatan Pinggir Goenawan Mohamad jilid 1-5. Kumpulan esai itu seperti jendela informasi bagiku, terutama informasi tentang buku dan pemikiran tokoh-tokoh dunia. Belakangan sudah jarang baca Caping, paling baca di Tempo setiap minggu.
Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono Hujan Bulan Juni dan Kumpulan Puisi Goenawan Mohamad terbitan Metafor masih sering kubaca setiap kali ada waktu. Beberapa kali mereka kukutip dalam tulisanku, terutama Sapardi.

Aku beberapa kali membaca Little Prince dari Antoine de Saint-Exupéry.

Yang jelas-jelas paling banyak kubaca dan sering kukutip secara tulisan maupun lisan adalah buku Ernst Cassirer, An Essay on Man, sebab selain bagus dan aku suka, buku itu juga kupakai buat mengajar. Bagiku Cassirer sangat inspiratif baik dari gagasan maupun teknik menulis serta cara memaparkan dan memanfaatkan informasi.

Sekarang aku juga suka buku From Text to Action dari Paul Ricouer, kuulang-ulang baca karena inspiratif dalam mempertemukan dua pendekatan dalam peroleh pengetahuan. Aku mau coba terapkan itu di psikologi.

Buku apa yang paling susah dipahami, namun sangat menantang? Kenapa demikian?
Sekarang aku sedang berusaha memahami buku Edmund Husserl berjudul Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology yang menurutku susah (sebenarnya juga buku filsuf-filsuf fenomelogi lainnya.) Dulu aku pernah baca asal lewat kecuali bagian-bagian yang kubutuhkan untuk membuat tesis. Sekarang aku ingin memahami secara komprehensif sebab aku perlu pemahaman mendalam tentang fenomenologi yang akar pemikirannya ada di buku ini.
Saat ini pendekatan fenomenologi, terutama tentang intentionality, banyak digunakan membahas banyak gejala kemanusiaan, baik individual maupun kelompok. Beberapa pemikir kontemporer juga mencoba mensintesiskan pemikiran fenomenologi dengan pemikiran-pemikiran lain, seperti Giddens dengan 'Third Way'-nya, Bourdieu dengan habitus dan field, lalu para ahli kesadaran (consciousness) yang mencoba mempertemukan fenomenologi dengan berbagai pendekatan dalam ilmu kognitif. Buku Ideas menantang sekaligus juga bermanfaat untuk dipahami meski sulitnya minta ampun.

Sebelumnya aku pernah setengah mati baca De Anima dari Aristoteles.

Sebenarnya buku-buku sastra klasik juga sulit dan menantang untuk dibaca. Homer, Shakespeare, dan karya-karya sastrawan-sastrawan Rusia menuntut ketabahan dan kejelian yang tinggi untuk membacanya. Kalau sudah ketemu 'enaknya', asyik sekali membaca semua itu, tetapi sebelumnya butuh daya konsentrasi tinggi.

Apa komentar kamu tentang menulis fiksi dan nonfiksi? Kenapa kamu tetap berada di dua ranah kepenulisan itu?
Menulis fiksi membebaskanku untuk menuangkan pengalaman, termasuk khayalan dan mimpi-mimpiku. Tantangannya adalah membuat cerita atau pemaparan menarik, unik atau paling tidak memuaskan ekspresiku, melepas ketegangan yang ada di hati dan pikiran.

Sementara menulis nonfiksi membutuhkan sistematika berpikir yang ketat dan teratur. Aku perlu membuat alur dan kerangka terlebih dahulu, menyiapkan bahan-bahan yang mungkin dibutuhkan dan mencoba mencari relevansi praktis dan teoritis dari tulisanku. Disiplin berpikir literal (logika dan metodologi) lebih dituntut dalam menulis nonfiksi. Sedangkan fleksibilitas dan disiplin metaforik (perumpamaan yang bernas dan imaji yang menyentuh pembaca) lebih dituntut dalam menulis fiksi. Sebenarnya aku belum bisa optimal dalam keduanya (masih bisa dibilang jelek dalam keduanya. Aku akan belajar terus, latihan menulis terus (syukur-syukur hasil latihannya diterbitkan seperti yang lalu-lalu).

Aku menulis keduanya karena keduanya kuminati dan proses pembuatannya mengaktifkan kedua belahan otakku serta membantuku peka dalam memahami diri dan sekitarku. Keduanya membantuku menjelaskan dunia secara enklaren (penjelasan dan penemuan hukum umum) maupun verstehen (pemahaman terhadap gejala-gejala khusus, terutama gejala humaniora)

Persiapan apa yang paling penting dalam menulis?
Kalau dari pengalamanku sih secara umum banyak baca. Lalu, secara khusus penting untuk meningkatkan sensitivitas. Dari segi teknis, sangat penting tersedia rokok dan kopi serta air putih supaya tetap bisa menulis sambil mendapat kenikmatan kopi dan rokok serta terus minum air agar ginjal tidak rusak. (Kalau kebelet ke kamar mandi, jangan ditahan-tahan, kalau ditahan malah nanti ganggu mood.)

Bagaimana kebiasaan membaca dan menulis kamu? Berapa jam kamu alokasikan waktu untuk menulis?
Sekarang, kebiasaan menulis dan membacaku tidak tetap. Tetapi dalam satu hari pasti ada yang aku baca dan tulis. Kira-kira paling tidak 2 s/d 3 jam aku membaca dan menulis materi-materi yang bukan jadi pekerjaan wajibku. (Sebenarnya aku bisa sampai 6 jam membaca bahan pelajaran dan materi tambahan bagi mata kuliah yang aku ajar, lalu menulis beberapa catatan yang penting; aku mengajar setiap hari dari Senin sampai Jumat.) Biasanya sebelum tidur aku sempatkan membaca buku, jika ada yang menarik aku tulis, membuat catatan atau ide-ide yang terlintas.

Apa yang menurutmu kurang dalam dunia perbukuan Indonesia sekarang?
Di Indonesia tidak ada reviewer buku yang memadai. Informasi tentang buku baik kurang sehingga sulit bagi aku menemukan buku-buku baru yang baik tanpa membeli atau meminjam lebih dahulu. Aku tahu satu buku bagus atau tidak setelah membacanya. Kita juga kekurangan kritikus buku. Kritikusnya pada snob, sok tinggi padahal kebanyakan malas membaca dan egois. Tak ada lagi H.B. Jassin yang rendah hati dan mau membimbing penulis muda. Kritikus sekarang kebanyakan penikmat yang dipenjara oleh seleranya. Pemahaman dan wawasan mereka kurang. Teori-teori yang mereka pakai kuno. Analisisnya linear atau bergaya 'tukang periksa'. Beberapa hanya senang menanggapi tulisan teman sendiri seideologi atau sepermainan.
Saat ini juga belum saya temukan sastrawan baru yang karyanya mengagumkan di Indonesia; belum banyak kritikus yang tajam. Saya menemukan Melani Budianta saja. Yang lainnya entah di mana.

Kebiasaan dan sifat apresiatif belum terbentuk di sini. Selain itu, kurang banyak penerbit yang berani mencoba menjajaki penulis-penulis baru dengan membiayai riset mereka. Kebanyakan penerbit hanya mau enaknya, menerima yang sudah jadi. Nama lebih dipentingkan daripada kualitas karya. Kebanyakan penerbit malas. Banyak lagi sih, kupikir, kekurangan kita. Tetapi kemajuan yang kita capai beberapa tahun ini juga patut dipuji. Dunia perbukuan kita sudah bangkit dan melangkah maju. Mudah-mudahan kekurangan yang aku sebut tadi bisa dibenahi.

Bibliografi lengkap kamu apa saja?
Aku tuliskan yang buku sendiri saja ya dan ada dengan beberapa teman. (Ada beberapa tulisan dalam kumpulan yang diterbitkan Kompas, termasuk 16 tulisan tentang analisis kepribadian Capres dan Cawapres; juga dalam kumpulan Bentara; tapi aku tak terlalu ingat.
  1. Pecahan Jakarta; Kumpulan cerpen bersama Kristi Purwandari; Konsepsi, 1999, Jakarta.
  2. Fuad Hassan di Antara Hitam-Putih; editor/penyunting; Konsepsi, 1999, Jakarta.
  3. Soeharto; Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat; hasil penelitian bersama Niniek L. Karim dan Hamdi Muluk; Komunitas Bambu, 2001, Jakarta.
  4. Filsafat Timur; Pengantar ke Pemikiran-pemikiran Timur; Jalasutra, 2002 dan 2003, Yogyakarta.
  5. Bermain-main dengan Cinta; Jalasutra, 2002 dan 2003, Yogyakarta.
  6. Akademos; Jalasutra, 2002 dan 2003, Yogyakarta.
  7. Patogonos; Esei yang mengisahkan hidup sepasang manusia; Kutu Buku, 2005, Jakarta.
  8. Ruwita, Novel; Penerbit Qolibri, 2005, Jakarta.
  9. Rhapsody Ingatan, Kumpulan Cerpen, Qolibri, 2005, Jakarta.
  10. Kesadaran Plural - Sintesis Kehendak Bebas dan Rasionalitas; Jalasutra, 2005, Yogyakarta.
  11. Akar-akar Ideologi; Jalasutra, 2002, Yogyakarta.
Apa yang dulu memotivasi kamu menulis dan menyelesaikan buku?
Ingin punya karya yang bisa dibanggakan dan bertahan lama. Awalnya karena aku kagum kepada para penulis yang karyanya memukau aku. Aku pikir, asyik juga ya punya karya tulis yang dibaca dan disenangi orang. Kupikir itu akan membahagiakanku. Ternyata sekarang aku merasa bahagia setiap ada yang mengomentari atau menulis e-mail dan bilang menikmati bukuku. Aku merasa bahagia karena telah menulis buku.

Ada juga harapan kecil yang terus kukumandangkan ketika bicara santai (sedikit bercanda) dengan teman-teman, aku ingin dapat Nobel Sastra, kemungkinan dari tulisan filsafatku.

Biasanya kutambah juga, "Gue ingin dapat Nobel biar bisa menolak hadiah itu, ha ha ha!" Tapi dalam hatiku ternyata keinginan itu ada juga meski tampak tidak realistik.

Buku apa yang paling berkesan yang pernah kamu tulis?
Bermain-main dengan Cinta dan Patogonos.

Suasana seperti apa yang paling kondusif untuk menulis?
Ketika teman-teman pulang dan mereka menyisakan kegembiraan, renungan dan perhatiannya kepadaku. Apa yang mereka berikan padaku mendorongkan menuliskan sesuatu. Kalau dilihat dari waktu, pagi hari sekitar jam 6 s/d 11 paling kondusi bagiku untuk menulis. Oleh karena itu, aku sering telat berangkat ke kantor.

Sebagai penulis, apa yang paling kamu harapkan dari penerbit?
Penerbit menyebarluaskan dan mempromosikan buku-bukuku. Mencarikan penanggap yang serius dan menyelenggarakan diskusi dengan isi bukuku sebagai topiknya. Penerbit juga mestinya menjaga kesejahteraan penulisnya serta mendorong, mendukung, memfasilitas (materi, mental, dan kultural) para penulisnya untuk berkembang.

Punya pengalaman menarik selama menulis? Misalnya writer's block?
Setelah bisa menulis satu cerpen dan esai, rasanya tidak pernah. Kalau pun terhenti atau tidak bisa menulis tidak kuanggap sebagai block tetapi kuanggap sudah tiba waktunya berhenti, istirahat dan jalan-jalan atau nonton film. Aku tidak ngoyo menulis dan sering mengabaikan dead-line (biasanya penerbitku mengerti ini) jadi tidak merasa terhambat jika tidak lancar menulis. Aku punya banyak sekali kegiatan yang menyenangkan sehingga jika terhambat mengerjakan yang satu, aku pindah ke kekgiatan lain. Hidup seperti itu menyenangkan bagiku.

Semoga jawabanku membantu menjelaskan. Selamat menulis.[]

Bagus Takwin ngeblog di http://bagustakwin.multiply.com/
Anwar Holid, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com/


Betulkah Bentuk Mengkritisi?

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On

(Ilustrasi: Ella Dallus)

Oleh: J.S. Badudu

Menggunakan bahasa secara tepat dan benar tidaklah mudah. Tentu saja diperlukan pengetahuan tentang bahasa itu melalui pelajaran khusus. Pengetahuan berbahasa secara alami saja tidak cukup. Di sekolah, guru mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana bahasa yang benar tentang makna kata, bentuk kata, dan susunan kata dalam kalimat.

Ada dua segi bahasa yang utama, yakni bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan isi adalah makna, arti, atau maksud yang terkandung dalam bentuk bahasa itu. Bentuk dan isi tentu harus sejalan. Kalau bentuk salah, misalnya susunan kata-kata dalam kalimat tidak teratur sesuai dengan struktur kalimat, arti atau maksud kalimat itu akan kabur atau tidak dapat dipahami.

Mari kita tinjau sepatah kata yang sering dipakai orang, padahal kata itu salah bentuknya. Yang saya maksud adalah kata “mengkritisi”. “Dia mengkritisi bahasa saya” bukanlah kalimat yang benar. Kata “kritisi” adalah kata bentuk sebagai bentuk jamak dari “kritikus” — orang yang ahli mengkritik. Baik kata “kritikus”, maupun kata “kritisi”, berasal dari kata “kritik”.

Kata “kritik” dipungut dari bahasa Belanda yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata “kecaman”. Kata kerjanya ialah “mengkritik” atau “dikritik”. Berikut adalah contoh pemakaiannya.
  1. Tabiat manusia pada umumnya suka “mengkritik”, tetapi tidak senang bila “dikritik”.
  2. Alm. H.B. Jassin adalah seorang “kritikus” sastra yang terkenal.
  3. “Kritisi” sastra Indonesia sangat sedikit, malah boleh dikatakan orang yang melakukan kerja “kritik” secara teratur, seperti H.B. Jassin, hampir tidak ada.
Dengan penggunaannya dalam kalimat seperti pada contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana penggunaan kata-kata itu secara benar dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia tidak ada bentuk kata kerja “mengkritisi” dan “dikritisi”. Kedua bentuk itu adalah bentuk yang salah kaprah. Jadi, jangan digunakan. Contoh lain seperti itu, misalnya “politik”, “politikus”, dan “politisi”.

Kesalahan kedua yang sering kita jumpai dalam tulisan-tulisan dewasa ini ialah bentuk kata “berpetualang”. Kata ini dibentuk dari kata dasar “tualang”, diberi awalan pe-, lalu diberi lagi awalan ber-. Kata “petualang” berarti orang yang bertualang. Kata ini tidak mungkin diberi lagi awalan ber- karena maknanya tidak sesuai dengan nalar.

Sebagai bandingannya, dapatkah kata “pedagang” dan “petani” diberi awalan ber-, menjadi “berpedagang” dan “berpetani”? Tidak mungkin, bukan? Itu sebabnya bentuk “berpetualang” bukanlah bentuk yang benar.

Dari bentuk dasar “tualang” (yang tidak dapat digunakan tanpa imbuhan) muncul kata “bertualang” sebagai kata kerja. Orang yang “bertualang” disebut petualang dan pekerjaannya itu sendiri disebut “petualangan”. Hanya ada tiga kata bentukan dari bentuk dasar kata “tualang” itu, tidak ada bentuk yang lain lagi.

Contoh lain seperti tualang ialah “ungsi”. Bentuk ini tidak dapat dipakai sendiri tanpa imbuhan. Hanya muncul sebagai “mengungsi”, “pengungsi”, “mengungsikan”, “diungsikan”, “pengungsian”, dan mungkin juga bentuk “terungsikan”.

Berikut contoh dalam kalimat.
  1. Korban bencana alam itu “mengungsi” ke tempat yang aman.
  2. Para “pengungsi” terdiri atas laki-laki dan perempuan, bahkan orang-orang yang sudah tua dan anak-anak.
  3. Pemerintah “mengungsikan” semua penduduk dari daerah bencana itu.
  4. Jumlah orang yang “diungsikan” lebih dari seribu orang.
  5. Tempat “pengungsian” tidak hanya satu, tetapi beberapa.
  6. Orang yang “terungsikan” merasa bersyukur karena luput dari bencana gempa dan tsunami itu.


Penggunaan Huruf Kapital atau Huruf Besar

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Senin, 19 Juli 2010 9 komentar

Ilustrasi: Banksy

Huruf Kapital atau Huruf Besar

1. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat.

Misalnya:
Dia mengantuk.
Apa maksudnya?
Kita harus bekerja keras.
Pekerjaan itu belum selesai.
2. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.

Misalnya:
Adik bertanya, "Kapan kita pulang?"
Bapak menasihatkan, "Berhati-hatilah, Nak!"
"Kemarin engkau terlambat," katanya.
"Besok pagi," kata Ibu, "Dia akan berangkat."
3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.

Misalnya:
Allah, Yang Mahakuasa, Yang Maha Pengasih, Alkitab, Quran, Weda, Islam, Kristen
Tuhan akan menunjukkan jalan yang benar kepada hamba-Nya.
Bimbinglah hamba-Mu, ya Tuhan, ke jalan yang Engkau beri rahmat.
4. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.

Misalnya:
Mahaputra Yamin
Sultan Hasanuddin
Haji Agus Salim
Imam Syafii
Nabi Ibrahim

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama gelar, kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang tidak diikuti nama orang.

Misalnya:
Dia baru saja diangkat menjadi sultan.
Tahun ini ia pergi naik haji.
5. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.

Misalnya:
Wakil Presiden Adam Malik
Perdana Menteri Nehru
Profesor Supomo
Laksamana Muda Udara Husen Sastranegara
Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian
Gubernur Irian Jaya

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang, atau nama tempat.

Misalnya:
Siapa gubernur yang baru dilantik itu?
Kemarin Brigadir Jenderal Ahmad dilantik menjadi mayor jenderal.
6. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.

Misalnya:
Amir Hamzah
Dewi Sartika
Wage Rudolf Supratman
Halim Perdanakusumah
Ampere

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang digunakan sebagai nama sejenis atau satuan ukuran.

Misalnya:
mesin diesel
10 volt
5 ampere
7. Huruf kapital sebagai huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa.

Misalnya:
bangsa Indonesia
suku Sunda
bahasa Inggris

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan.

Misalnya:
mengindonesiakan kata asing
keinggris-inggrisan
8. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.

Misalnya:
bulan Agustus hari Natal
bulan Maulid Perang Candu
hari Galungan tahun Hijriah
hari Jumat tarikh Masehi
hari Lebaran
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama.

Misalnya:
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsanya.
Perlombaan senjata membawa risiko pecahnya perang dunia.
9. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.

Misalnya:
Asia Tenggara Kali Brantas
Banyuwangi Lembah Baliem
Bukit Barisan Ngarai Sianok
Cirebon Pegunungan Jayawijaya
Danau Toba Selat Lombok
Daratan Tinggi Dieng Tanjung Harapan
Gunung Semeru Teluk Benggala
Jalan Diponegoro Terusan Suez
Jazirah Arab

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri.

Misalnya:
berlayar ke teluk
mandi di kali
menyeberangi selat
pergi ke arah tenggara

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis.

Misalnya:
garam inggris
gula jawa
kacang bogor
pisang ambon
11. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan.

Misalnya:
Republik Indonesia
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Kesejahteraan Ibu dan Anak
Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor 57, Tahun 1972

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama resmi negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.

Misalnya:
menjadi sebuah republik
beberapa badan hukum
kerja sama antara pemerintah dan rakyat
menurut undang-undang yang berlaku
12. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.

Misalnya:
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Rancangan Undang-Undang Kepegawaian
13. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.

Misalnya:
Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.
Dia adalah agen surat kabar Sinar Pembangunan.
Ia menyelesaikan makalah "Asas-Asas Hukum Perdata".
14. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.

Misalnya:
Dr. doktor
M.A. master of arts
S.H. sarjana hukum
S.S. sarjana sastra
Prof. profesor
Tn. tuan
Ny. nyonya
Sdr. saudara
15. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.

Misalnya:
"Kapan Bapak berangkat?" tanya Harto.
Adik bertanya, "Itu apa, Bu?"
Surat Saudara sudah saya terima.
"Silakan duduk, Dik!" kata Ucok.
Besok Paman akan datang.
Mereka pergi ke rumah Pak Camat.
Para ibu mengunjungi Ibu Hasan.

Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan.

Misalnya:
Kita harus menghormati bapak dan ibu kita.
Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
16. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.

Misalnya:
Sudahkah Anda tahu?
Surat Anda telah kami terima.


(Sumber: Link)


(Tabel) Kata/Frase yang Ditulis Serangkai

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On 0 komentar

(Maaf ya kalau tabelnya terlalu ke bawah. Sudah saya cari tahu penyebabnya, tetapi tidak ketemu juga. Jadi saya biarkan saja seperti ini. Semoga tidak mengganggu, ya)








BENARSALAH
apabila
barangkali
bilamana
belasungkawa
daripada
halalbihalal
kacamata
kasatmata
kosakata
lokakarya
manakala
olahraga
radioaktif
saputangan
sediakala
segitiga
sukacita
sukarela
sukaria
apa bila
barang kali
bila mana
bela sungkawa
dari pada
halal bihalal
kaca mata
kasat mata
kosa kata
loka karya
mana kala
olah raga
radio aktif
sapu tangan
sedia kala
segi tiga
suka cita
suka rela
suka ria

Sumber dari wikipedia, tapi kami pilah lagi satu persatu, sebab ternyata banyak juga kata-kata yang seharusnya dipisah malah diserangkaikan oleh wikipedia. Alhasil, kami harus pilah satu-satu dengan menggunakan KBBI dalam jaringan. Semoga bermanfaat.

Salam,
SindikatPenulis.com


Lima Unsur dalam Fiksi yang Mesti Kita Tahu

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Rabu, 05 Mei 2010 3 komentar

(Ilustrasi karya: Ella Dalus)


Dunia fiksi adalah dunia kebebasan tanpa batas. Kita bisa pergi ke mana saja, melanglang buana semau kita, menghentikan waktu dan menjalankannya kembali, semua itu bisa kita lakukan kapan saja. Kita juga bisa menciptakan makhluk-makhluk aneh yang belum sempat tuhan ciptakan, membangun sebuah pulau yang tak pernah tercatat dalam sejarah, mematikan tokoh protagonis, memberi penghargaan kepada tokoh antagonis, membalik segalanya, merusak segalanya, mendekonstruksi realita sehari-hari dengan imajinasi. Ya, dengan menulis fiksi, kita bisa melakukan apa saja.

Namun, kita juga mesti tahu, bahwa sebebas apa pun kita menulis fiksi, ada beberapa panduan yang mesti kita ikuti.

Penulisan fiksi yang bagus sekiranya harus memiliki lima unsur. Kesemua unsur tersebut adalah bahan paling penting untuk kita gunakan dalam membuat cerita fiksi yang memikat, indah, menawan, memukau, sehingga membuat pembaca begitu betah berlama-lama membaca cerita kita.

Kelima unsur penting itu adalah sebagai berikut:

  • Karakter
  • Plot / Alur
  • Seting / Latar
  • Tema
  • Style / Gaya
Jika kelima unsur di atas terjalin mulus dan terpilin dengan begitu rapi, kita akan bisa membuat cerita fiksi yang—katakanlah—berhasil.

So, here we go!

KARAKTER
Kebanyakan orang merasa bahwa karakterisasi adalah unsur paling penting dalam naskah fiksi. Penggambaran karakter yang kuat bisa membuat pembaca merasa memiliki hubungan emosional dengan tokoh karakter yang kita karang itu. Karakter yang kuat di sini maksudnya bukan berarti harus berbadan six pack seperti model iklan L-Men, melainkan karakter itu memiliki keunikan, tidak stereotip, dan mampu membuat pembaca berfikir bahwa karakter tokoh karangan kita itu benar-benar ada di dunia nyata. Cerita fiksi tanpa adanya karakterisasi atau penokohan, adalah cerita yang bisa dikatakan sangat tidak menarik.

PLOT / ALUR
Plot juga merupakan unsur yang penting dalam cerita fiksi, yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu. Plot tidak bisa disamakan dengan jalan cerita, tapi lebih kepada hubungan sebab-akibat. Cerita seperti: “Saya bangun tidur, melamun sebentar, kemudian beranjak mendekati jendela.” Ini namanya jalan cerita, bukan plot. Jika cerita itu diubah seperti ini: “Saya bangun tidur dan merasa tenggorokan saya kering, Dengan langkah perlahan saya langsung menuju kulkas.” Inilah yang dinamakan plot. Ada hubungan sebab-akibat di dalam cerita itu. Itu hanya contoh sederhananya. Jadi di sini sudah jelas betapa pentingnya plot dalam cerita fiksi. Plot yang baik dapat menggugah rasa ingin tahu pembaca akan kelanjutan cerita kita.

SETING / LATAR
Seting adalah informasi yang menggambarkan waktu dan tempat dalam sebuah cerita fiksi. Kapan cerita itu terjadi dan di mana kisah itu berlangsung. Hal ini penting sekali, sebab dengan adanya seting, pembaca bisa lebih menghayati cerita fiksi yang kita buat itu. Dengan seting (tempat dan waktu) kita juga bisa menciptakan karakter tokoh dengan baik, dan dari seting kita juga bisa menentukan konflik demi mendapatkan emosi pembaca. Seting yang baik bukanlah cuma dijadikan sebagai latar belakang sebuah cerita fiksi saja, melainkan juga merupakan satu kesatuan dari cerita. Saling berkesinambungan.

TEMA
Tema adalah inti dari apa yang sebenarnya ingin kita ceritakan. Atau, bisa juga disebut sebagai ide pokok dari rangkaian cerita fiksi yang ingin kita tuliskan. Kita akan kesulitan menulis jika kita belum memiliki tema. Dengan tema yang menarik, pembaca akan antusias dengan tulisan kita. Jadi, jika kita ingin menulis, tentukan tema sekarang juga.

STYLE / GAYA
Apabila kita ingin menulis tentang tema yang—katakanlah—sudah klise, misalnya kisah tentang pertaubatan seorang pendosa, kita tetap bisa membuat cerita itu menjadi menarik.
"Lho, kok bisa?"
"Ya bisa, dong!"
"Bagaimana caranya?"
"Gampang!"
"Gampang bagaimana? Kasih tahu, dong!”
"Sabar, dong!"
"Aduuuh... bikin penasaran aja, deh!"
"Hehehe... gampang. Jawabannya adalah dengan gaya tulisan kamu!"

Ya, dalam menulis cerita fiksi, ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membuat cerita fiksi kita menjadi menarik, salah satunya adalah: gaya menulis. Mungkin kita bisa menulis cerita dengan menggunakan gaya punggung... eh, ini mah renang! Maaf, maksud saya, kita bisa menulis cerita dengan berbagai macam gaya. Komponen-komponen dalam gaya bisa berupa sudut pandang yang unik, narasi yang aduhai, rima yang memesona, ending yang mengejutkan, dan lain sebagainya. Tapi, kita mesti ingat, jangan terlalu sering bermain-main dengan gaya, sebab takutnya kita malah dianggap sebagai badut atraksi kata-kata. Gaya hanyalah salah satu hal yang dapat membantu menjadikan cerita fiksi kita menjadi semakin memukau.

KESIMPULAN
Apa sih pentingnya kita memahami unsur-unsur fiksi tersebut? Bukankah lebih baik kita duduk di depan komputer dan mulai menulis, lantas biarkan energi kreativitas kita yang akan melakukan hal tersebut?

Hmm... Sebenarnya dengan kita paham dan akrab dengan unsur-unsur fiksi tersebut, itu akan menguntungkan kita sebagai seorang penulis. Di antaranya adalah sebagai berikut:
  • Mengetahui semua unsur-unsur ini akan memudahkan kita untuk berbicara dengan cerdas mengenai menulis fiksi.
  • Kita akan dapat mengidentifikasi masalah dengan lebih mudah.
  • Memahami unsur-unsur ini akan memberikan kita perspektif baru sebagai pembaca fiksi.
  • Jika unsur-unsur cerita fiksi adalah bahan bangunan, maka kita harus tahu apa yang harus kita kerjakan selanjutnya.
Ya, kamu mungkin bisa saja cuma duduk dan langsung menulis dengan kreativitas yang—katakanlah—masih mentah, dan bisa jadi hasil tulisan itu akan menjadi tulisan yang baik. Namun, semakin kamu memahami unsur-unsur di atas tadi, semakin lengkaplah kamu untuk menjadi seorang penulis fiksi yang baik. Semoga bermanfaat! (Noor H. Dee)


Menyelesaikan Novelmu dalam Empat Tahapan Sederhana (bagian 1)

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Selasa, 04 Mei 2010 16 komentar

(Ilustrasi karya: Ella Dalus)

Kau harus memiliki stamina untuk mentransformasikan sebuah draft pertama yang ringan menjadi sebuah cerita dengan kekuatan yang simultan.

Gunakan empat strategi ini untuk membuat draftmu menjadi novel yang berbobot dan berkembang. Namun, sebelum itu saya akan menjelaskan siapa novelis itu: novelis adalah pelari jarak jauh yang harus memiliki stamina yang tangguh; seorang supir truk tronton antar provinsi atau pengarung samudera atau Cheng-Ho-nya di dalam samudera penulisan. Tidak ada pelari sprint, atau penulis karbitan di dalam pembuatan novel. Jika memang ada—di dalam dunia penulisan—tentunya tidak untuk novelis.

Mengapa?

Sebab permasalahannya, di dalam novel terdapat banyak karakter, terdapat banyak scene/adegan, terlalu banyak struktur cerita dan halaman yang harus dibangun, dan kalimat yang unik untuk dituliskan, bahkan ditulis ulang, direvisi, dan dipoles, dipercantik seperti sepatu kulit Edward Forrer.

Ketahanan/stamina memang merupakan kunci untuk menyelesaikan sebuah tugas. Meski demikian, stamina tidak juga menjadi faktor penentu. Karena, jika penulis novel diibaratkan sebagai sesuatu yang harus menjelajah jauh, maka pembaca novel bisa juga diibaratkan sebagai pelari maraton olimpiade.

Bayangkan, mereka harus berlari puluhan kilometer, dan ini berarti proses revisi harus seimbang dengan proses panjang yang harus mereka lakukan di dalam berlari. Proses revisi itu mesti berdarah-darah, harus berhati-hati memilih kata dan bahasa karena jika kata salah digunakan, maka kata-kata itu seperti halnya kubangan di tengah jalan yang akan mencelekai dirimu ketika kau mengendarai motor di jalan Margonda. Itulah, mengapa sudah kukatakan saudara, proses revisi itu mempertaruhkan passion, mempertaruhkan hasrat pembaca, dan tentu saja, mempertaruhkan harga diri kita, agar si pembaca mau mengikuti, berkeliling-keliling, dan masuk menjelajah tulisan kita.

Membuat novel bukanlah sebuah pekerjaan ringan. Dalam pembuatan narasinya kita harus berputar-putar, dan seperti itulah yang harus dilakukan, yakni: membuat pembaca mabuk hingga tetesan terakhir 'tinta' yang kita tuangkan. Sebagai seorang novelis, kamu tentu memerlukan strategi/teknik yang kongkret untuk menjadikan draft pertamamu menjadi kisah panjang yang bisa membuatmu berdiri tegak.

Inilah aturan-aturan yang akan membuat pembacamu tidak jatuh tertidur karena bosan, atau menyerah dan modar sebelum mereka menuntaskan bab terakhir masterpiece-mu: novelmu.

TULISKAN SELURUH DRAFT PERTAMAMU DENGAN CEPAT

Aturan pertama dalam membuat novel adalah haram untuk memfokuskan diri dengan revisi. Dalam sesi ini kamu harus benar-benar menggodam atau menghancurkan hasrat untuk merevisi yang kamu tulis. Pokoknya, tuliskan saja!

Well, jika kamu perfectionist, sok sempurna, hal ini akan menyulitkan kamu, karena proses penulisan draft pertama dengan cepat berarti mencoba memaafkan tulisanmu yang, amit-amit butut.

Cepat memang berarti kacau balau dalam pemilihan diksi, sintaks, susunan/kaidah berbahasa, tapi meski dengannya, merasa mengkhianati ego, tetap saja hal itu sebanding dengan harga yang kau bayarkan untuk membeli: mengalirnya tulisanmu dalam pembuatan draft pertama. Tidak ada jalan untuk menulis draft pertama selain menggunakan kecepatan, fast and furious seperti judul sebuah film butut. Dan sesungguhnya apa yang saya sampaikan ini sama dengan yang disampaikan film Finding Forester, menulislah dengan perasaan dan mengeditlah dengan pikiran, bukan?

Pokoknya, nih saya kasih tau nih, tulislah draft pertama seperti kecepatan peluru yang menghabiskan hidup Kurt Cobain. Menulislah seperti bergegasnya pembabat hutan saatmenggergaji kayu di belantara Kalimantan, kalau perumpamaan itu terlalu mengawang, berlarilah seperti bencong-bencong taman Lawang saat dikejar Satpolnya Fauzi Bowo. Bisakan?

Ya, ya, karakter yang kau gunakan di awal draft itu mungkin terkesan mentah, subplotmu akan terasa tidak tereksplorasi dengan baik, tapi melajulah, sebab ketika bergegas kau tidak memiliki pilihan selain mengkhatamkan sebuah garis cerita. Dengan melakukan itu, kau akan berhasil menghalau godaan-godaan untuk merevisi yang akan menyelewengkan dirimu untuk menyelesaikan draft awal novelmu (Kau bisa! Kau baru harus merevisi membuat plot, karakter yang kuat, kata-kata yang berbobot, jika draft awalmu sudah selesai).

Inilah stressing pointnya, bahwa dengan menghindarkan diri dari revisi, saat pengerjaan draft pertama maka kau tidak menyia-nyiakan waktumu. Revisi di draft awal? Oh, (maaf) peduli setan!

Pertanyaan selanjutnya, seberapa cepat yang harus kamu lakukan dalam menyelesaikan draft awal?

Tergantung kecepatan penulis. Kebiasaan alamiah saya adalah bekerja santai, tetapi saya menulis manuskrip awal dalam waktu six pack, oh... tidak, saya melantur lagi, maksudnya: saya menyelesaikan dalam waktu enam bulan. Dan kalau tujuh bulan, sepertinya akan ada ritual bid’ah yang terpaksa saya lakukan: ritual tujuh bulanan misalnya.
Oke, back to my track, saya biasanya menyelesaikan dua halaman setiap saya duduk. Dan jika kamu melakukan hal yang sama, mendedikasikan dirimu untuk menulis tanpa mengedit, maka kamu akan tekejut betapa draft awal itu bisa kau selesaikan dengan cepat.

Dan itulah waktunya untuk menulis ulang, memulainya dengan menggunakan kecanggihan otakmu (kencanggihan merevisi) untuk membawa pembaca, masuk ke dalam dunia yang kau ciptakan. Dengan merevisi, kau bisa menjadikan genit sebuah kata, membuat sebuah kalimat menjadi cantik dan seksi, menjadikan alurmu sekuat Goliath, dan menegaskan penokohan, sehingga si pembaca menjadi susah berpaling dari tulisanmu! (Divan Semesta)

Baca juga: Menyelesaikan Novelmu dalam Empat Tahapan Sederhana (bagian 2)


Apakah Esai Itu?

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Senin, 03 Mei 2010 11 komentar


Penulis : Lucile Vaughan Payne


Esai bukanlah sekadar rekaman fakta-fakta atau hasil imajinasi murni. Tulisan yang Anda buat dalam pelajaran sejarah yang dipenuhi dengan fakta-fakta yang dikumpulkan dari berbagai referensi mungkin nampak seperti sebuah esai. Namun, seberapa pun cermatnya Anda dalam menulis ulang semua fakta tersebut, meskipun dengan bahasa Anda sendiri, tulisan itu bukanlah esai. Esai juga bukan kejadian atau pengalaman yang Anda tuliskan dalam pelajaran bahasa, tak peduli betapa nyata, cerdas, menyentuh, berurutan, jelas, rinci, dan lengkapnya tulisan Anda itu.

Mungkin Anda telah membuat ratusan tulisan dalam bentuk seperti di atas dan mengumpulkan semua berdasarkan 'temanya'. Anda mungkin akan menyebutnya sebagai sebuah esai, tapi itu juga bukan esai. Jadi, apakah esai itu? Esai adalah ekspresi tertulis dari opini penulisnya.

Sebuah esai akan makin baik jika penulisnya dapat menggabungkan fakta dengan imajinasi, pengetahuan dengan perasaan, tanpa mengedepankan salah satunya. Tujuannya selalu sama, yaitu mengekspresikan opini. Esai memang bisa berbeda menurut kualitas, jenis, panjang, gaya, dan subjek. Esai juga bisa berbentuk sederhana sampai yang sangat kompleks, namun semuanya akan menunjukkan sebuah opini pribadi sebagai analisa akhir. Inilah perbedaan mendasar antara esai dengan tulisan ekspositoris atau sebuah laporan. Sebuah esai tidak hanya sekadar menunjukkan fakta atau menceritakan sebuah pengalaman; ia menyelipkan opini penulis di antara fakta-fakta dan pengalaman tersebut.

Tentu, Anda harus memiliki sebuah opini sebelum menulis esai. Hanya saja, Anda juga harus memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan opini itu, bagaimana menyampaikannya, dan bagaimana mengungkapkan nilai yang dibawanya. Sebelum mendapatkan opini, Anda harus lebih dulu menentukan subjek yang hendak ditanggapi karena opini harus berhubungan dengan subjek tertentu.

SUBJEK ESAI

Apa yang harus ditulis? Pertanyaan ini memiliki jawaban yang tidak terbatas. Anda dapat menuliskan segala jenis topik; dari persahabatan, politik, sepatu, menjual lilin, sampai esai tentang esai itu sendiri. Satu-satunya persyaratan yang harus dipenuhi adalah bahwa penulis harus cukup memahami topik tersebut sehingga ia dapat membentuk sebuah opini. Lalu, apa batasan dari 'cukup memahami' itu? Jawabannya juga tidak sulit. Sebagai manusia, seperti yang lain, kita pasti 'cukup memahami' dan akrab dengan banyak hal di sekitar kita; persahabatan, hubungan keluarga, pertumbuhan, makan, tidur, dan banyak lainnya. Tentunya semua itu dapat dipakai sebagai bahan menulis esai.

Bagaimanapun juga, 'pemahaman yang cukup' untuk menuliskan tema-tema spesifik memerlukan pengetahuan atau pemahaman akan disiplin ilmu tertentu. Kita mungkin bisa menulis sebuah esai mengenai topik seperti persahabatan tanpa perlu memberikan banyak fakta. Namun, untuk topik-topik seperti Puritanisme atau sejenisnya, tentunya kita memerlukan informasi yang dapat diuji secara 'ilmiah'. Referensi sendiri bisa didapatkan dari banyak sumber, mulai dari buku sampai media internet. Menulis tentang bidang yang sesuai dengan minat kita juga akan sangat mempermudah dan mempercepat proses penulisan itu sendiri. Karenanya, seorang yang mempunyai hobi dalam satu bidang tertentu juga dapat disebut sebagai seorang yang memiliki 'pemahaman yang cukup'. Bahkan, sekalipun kita tidak menaruh minat yang begitu besar dalam satu bidang pembahasan, kita tetap dapat menulis sebuah esai yang baik asalkan dapat mengumpulkan banyak fakta. Dengan membaca berbagai informasi yang bisa dipertanyakan, dibandingkan, atau yang dapat Anda nilai sendiri, pengetahuan tentang satu bidang baru juga akan Anda dapatkan dengan cepat.

Menulis sebuah esai yang didasari oleh pengetahuan khusus memang cenderung lebih mudah daripada menulis esai tentang hal-hal atau pengalaman yang sudah sering ditemui di sekitar kita. Berbeda dengan kebiasaan yang sering terjadi dalam sebuah opini, seorang penulis esai hendaknya tidak boleh hanya berpegang pada 'perasaan bahwa ia benar', namun lebih beranggapan bahwa 'pikiran saya benar'. Jadi, opini yang terdapat dalam sebuah esai juga harus didasarkan pada apa yang Anda pikirkan dan bukan hanya pada apa yang Anda rasakan. Yang jelas, setiap esai harus memiliki opini, dan opini yang terbaik adalah didasari oleh pikiran dan perasaan.

APAKAH OPINI ITU? BAGAIMANA ANDA MEMUNCULKANNYA?

Banyak orang yang mendefinisikan opini dengan sangat bebas. Segala prasangka, sentimen, tuduhan, dan segala jenis omongan yang tanpa dasar seringkali disebut sebagai sebuah opini. Namun, opini yang ingin disampaikan dalam sebuah esai harus memenuhi definisi sebagai berikut.

Opini: sebuah kepercayaan yang bukan berdasarkan pada keyakinan yang mutlak atau pengetahuan sahih, namun pada sesuatu yang nampaknya benar, valid atau mungkin yang ada dalam pikiran seseorang; apa yang dipikirkan seseorang; penilaian.

Ujilah opini Anda dengan definisi di atas untuk menilai apakah Anda telah memiliki topik esai yang baik. Apakah opini tersebut didasari atas keyakinan mutlak? Atau pengetahuan yang sahih? Apakah Anda dapat membuktikan kebenarannya di atas semua keraguan yang beralasan? Jika ya, berarti itu bukan opini, tetapi fakta -- atau sebuah hasil observasi yang telah diterima secara luas sehingga menjadi sebuah fakta. Fakta harus terlebih dulu diubah menjadi sebuah opini sebelum dimunculkan dalam sebuah esai. Misalnya, fakta menunjukkan bahwa jumlah penduduk negara kita tahun ini adalah sekian ratus juta. Untuk mengubah fakta tersebut menjadi sebuah opini tugas Anda sekarang adalah menilainya. Anda bisa menilai bahwa budaya negara kita berubah karena pertambahan penduduk yang demikian cepat; atau perlunya perubahan kebijakan ekonomi yang dapat menjamin setiap warga bisa mencukupi kebutuhannya, dll. Dengan membuat sebuah penilaian/tanggapan, maka Anda telah mengubah fakta menjadi sebuah opini. Dengan demikian, Anda telah memiliki topik esai yang baik.

Namun, tidak semua opini dapat menjadi topik sebuah esai. Jika ada pernyataan 'menjalin persahabatan penting bagi hubungan antarmanusia', pernyataan ini bisa disebut opini karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah atau statistik. Walau demikian, pernyataan itu merupakan opini yang lemah untuk dikemukakan dalam sebuah esai karena tidak merangsang timbulnya argumen lain. Dari segi praktis, itu adalah fakta. Untuk membuatnya menarik, Anda bisa mengubahnya menjadi opini yang lebih tajam seperti 'persahabatan adalah hal terpenting bagi manusia', misalnya. Tapi cara yang lebih efektif dalam menarik minat pembaca adalah dengan mengawalinya dengan berbagai pertanyaan menantang seperti, 'apakah persahabatan antarpria lebih awet daripada wanita?' 'bisakah persahabatan yang murni terjalin antara pria dan wanita, ataukah antara orang tua dan anak?' dst.

Jika kita melihat pertanyaan-pertanyaan tersebut, pembaca mungkin bisa menjawab ya atau tidak saja. Tapi bagaimana jika Anda mengubah kata tanya tersebut dengan kata tanya yang lebih memerlukan penjelasan seperti 'mengapa', 'apakah', atau 'bagaimana'?

-Bagaimana orang tua dapat bersahabat dengan anak?
-Mengapa persahabatan antarpria lebih awet daripada antarwanita? (atau sebaliknya)
-Apakah persahabatan itu?


Makin banyak pertanyaan yang Anda ajukan pada diri Anda akan semakin baik. Setelah itu, Anda akan dapat mengenali pertanyaan yang penting dan yang tidak, yang terlalu luas dan yang terlalu sempit, dsb. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tak jarang Anda juga akan menemukan opini-opini yang belum pernah Anda sampaikan sebelumnya (artinya: Anda tidak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya Anda pikirkan). Teruslah melontarkan pertanyaan. Ketika Anda menemukan satu opini pribadi yang sangat menarik berarti Anda telah memasuki wilayah seorang penulis esai.

APA YANG MEMBUAT SEBUAH OPINI MENARIK?


Jika diminta untuk memilih sebuah opini yang paling menarik, mungkin kita akan memilih berdasarkan minat kita karena kita akan selalu dapat menulis dengan baik topik yang kita kuasai/sukai atau yang dengan gampang kita tuliskan. Namun, topik yang menarik sesungguhnya adalah yang 'bertentangan'! Jika jumlah orang yang tidak setuju dengan tulisan Anda cukup signifikan, maka bisa dipastikan pandangan Anda akan menarik perhatian. Pembaca tidak akan tertarik dengan sesuatu yang artinya memang sudah jelas dan tepat. Anda tentu boleh menuliskan hal seperti itu, namun siapa yang akan mengindahkannya?

Sebuah esai akan gagal jika tidak mempunyai argumen. Setiap analisa akhir dari esai adalah argumen. Analisa akhir itulah yang menjadi opini penulis esai tentang satu topik yang berlawanan dengan opini orang lain. Kalimat 'A lebih baik (atau jelek) dari B' adalah kalimat yang jelas akan menimbulkan argumentasi. Namun, Anda juga tak perlu harus menyatakan sejelas itu. Saat menyatakan bahwa 'balap mobil mempromosikan keamanan berkendara', berarti Anda telah berargumentasi dengan pendapat banyak orang yang menganggap balap mobil hanya akan mengakibatkan kecelakaan.

MENGUJI PERTENTANGAN


Ketika sedang membuat sebuah opini esai, usahakan agar Anda juga dapat menjawab setiap pertanyaan yang mungkin muncul dari opini yang bertentangan. Yang dimaksud dengan opini yang bertentangan tentu tidak selalu berarti berkebalikan. Jika Anda mengatakan "Animal Farm" adalah novel terbaik sepanjang masa, tentu tak akan ada orang yang cukup sembrono menyatakan "Animal Farm" sebagai novel terjelek sepanjang masa. Mungkin yang ada ialah kritik atas pernyataan Anda tersebut, yang mungkin akan mengatakan novel itu terlalu pendek, penokohannya kurang tajam, dsb. Jadi, opini yang menentang tidak selalu kebalikan dari opini Anda. Yang jelas akan ada perbedaannya.

Dengan mempertimbangkan secara seksama kemungkinan pertanyaan ini, mungkin pikiran dan opini Anda akan berubah. Bagus! Anda masih memiliki opini, walau mungkin telah berubah. Opini baru itu tentu akan lebih kuat dari sebelumnya. Atau meski opini awal Anda tetap yang paling kuat, dengan menguji berbagai kemungkinan pertentangan ini, Anda akan mendapat lebih banyak ide untuk mempertahankan pendapat Anda.

Meski demikian, opini hanyalah sebuah pendapat pribadi tentang kebenaran. Anda tidak bisa mengharapkan opini esai Anda menjadi bukti ilmiah. Tujuan Anda adalah untuk meyakinkan, bukan membuktikan. Kekuatan esai Anda diukur dari keberhasilannya meyakinkan pembaca. Setiap opini esai Anda pada akhirnya dapat diuji kekuatannya dengan dua pertanyaan berikut.

1. Bisakah sebuah argumen yang valid dibuat untuk menentangnya?
2. Bisakah saya mempertahankan pendapat melawan argumen tersebut?

Jika keduanya Anda jawab "ya" berarti Anda sudah boleh lega dan yakin bahwa Anda telah berhasil membuat esai yang menarik.

PERCAYA PADA APA YANG ANDA KATAKAN

Topik sebuah esai memang harus berupa argumen. Namun, argumen tersebut harus jujur dan cerdas. Anda memang boleh mengemukakan opini yang berlawanan dengan pendapat banyak orang. Namun, menyatakan sebuah opini berani hanya untuk menarik perhatian adalah tindakan yang konyol. Lebih buruk lagi, tindakan itu menunjukkan suatu ketidakjujuran. Anda mungkin bisa berhenti melakukan tindakan konyol, namun ketidakjujuran tidak bisa diobati. Kejujuran adalah hal terpenting karena ketidakjujuran dalam esai akan segera tercium oleh pembaca. Jadi, selalulah percaya pada apa yang Anda katakan, walau sekali lagi ini bukan berarti Anda harus reaktif menolak semua pendapat yang menentangnya. (t/ary)

Bahan diterjemahkan dan diedit (dengan beberapa penyesuaian konteks perkembangan zaman) dari:

Buku : The Lively Art of Writing
Penulis : Lucile Vaughan Payne
Judul Artikel : What is An Essay?
Penerbit : Follett Publishing Company, 1965
Halaman : 13-22


Related Posts with Thumbnails
Diberdayakan oleh Blogger.