Menyelesaikan Novelmu dalam Empat Tahapan Sederhana (bagian 2)

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Rabu, 12 Januari 2011

 (Ilustrasi karya: Ella Dalus)

Lanjutan dari: Menyelesaikan Novelmu dalam Empat Tahapan Sederhana (bagian 1)

2. Melakukan Evaluasi terhadap Fungsi Dramatisasi dari Setiap Bab Yang Mengandung Aksi.

Yang harus disadari benar, kita mengkondisikan bahwa pembaca kita adalah orang yang memiliki IQ dan ESQ tinggi.

Pembaca bukanlah manusia moron, yang bakal terus membaca novel sampah. Pembaca hanya akan terus membaca jika novel yang kita buat menarik. Dan apabila novel itu benar-benar sampah tentunya mereka akan mulai menyaring halaman yang ingin mereka baca, dan jika memang novel itu benar-benar sampah dalam artian sebenarnya maka si pembaca akan menutup atau bahkan melemparkannya ke jamban.

Karena itu, cara terbaik dalam melakukan revisi ialah membaca ulang draft pertama. Tanyakan pada dirimu sendiri, “Apa novel saya sudah mampu memberikan efek kejut dan menawarkan persepsi outside the box? Ataukah novel saya hanya berisi pengulangan-pengulangan cerita macam sinetron-sinetron Tersanjung dan Cinta Fitri?”

Pastikan setiap insiden menjadi insiden yang dramatis, heroik, tragis, entah itu perkelahian, dialog, atau bahkan mengeksplorasi situasi tanpa dialog yang mampu membuat pembaca merasakan mereka dibawa menuju wilayah baru. Dan ketika kamu menemukan Bab/scene yang nggak asyik, hell yeah, itulah yang menjadi target revisimu.

Sebagai contoh:

Kent Haru’s dalam novelnya yang berjudul Plainsong, mengisahkan bagaimana seorang guru dari kota kecil Colorado mengunjungi sepasang petani tua yang masih bujangan. Kedua bujang lapuk itu dibuat terkejut oleh sang guru dengan pertanyaan: “Apa Kalian punya keinginan untuk ditempatkan di sekolah yang semua murid-muridnya adalah wanita?” Dan yang paling hebat adalah: mereka, murid-murid wanita tersebut, di ‘tendang’ dari rumah karena MBA alias tekdung dulu sebelum nikah.

Dua bujang lapuk mendadak bengong.

Nah, dengannya scene menjadi hidup. Penulis memberikan nuansa slow motions dalam plot tersebut.

Dalam paragraf selanjutnya diceritakan bagaimana sang guru meninggalkan ladang, dan kemudian dua bujang lapuk itu meletakkan jaket lantas keluar menuju malam yang bersalju untuk mereparasi pemanas air yang rusak. Mereka mencabut pemanas yang bekasnya kemudian tercetak di dalam tangki air.

Dalam situasi tersebut, kedua bujang lapuk itu tidak mengatakan apa pun, tidak melakukan dialog! Narator pun tidak menawarkan wawasan apa pun.

Pertanyaannya, bisakah alur tersebut merefleksikan nuansa yang ingin dibangun si penulis?

Mari kita lihat, bagaimana Kent Harus, menyelesaikan paragrafnya dan mentransisikan situasi sunyi menuju percakapan yang tak terelakan.

Untuk sementara mereka duduk dibawah kincir angin, dalam naungan cahaya yang suram. Sekumpulan kuda yang haus memperhatikan mereka, kemudian mengendus dan mulai meminum air, menyedotnya dengan panjang.  Setelahnya kuda-kuda itu berdiri, lalu mundur dan kembali memperhatikan kedua mata lelaki menggunakan mata mereka yang bercahaya dan hitam sempurna seperti tombol yang terbuat dari kayu mahoni.

Hari semakin gelap, saat itu. Selaris cahaya lembayung mengintip di ufuk barat.

Oke! Harold berkata. Aku tahu yang kupikirkan. Apa yang harus kita lakukan dengan perempuan SMU yang pernah hamil itu?

Alur dalam pertanyaan tersebut mendemonstrasikan beberapa cara bagaimana dua bujang lapuk itu melakukan komunikasi. Hal tersebut juga, disadari atau tidak, membawa pembaca pada pembahasan kedua lelaki tua tersebut, bagaimana memperlakukan perempuan.

Intinya, scene dalam sebuah novel tidak harus ramai dialog dalam rangka menimbulkan ketertarikan pembaca.

Menjadi hal yang penting, dan senantiasa penting, ialah bahwa kamu harus memeriksa kembali, satu persatu scene, memastikan pemaparan membuat dirimu nyaman dan memastikan bahwa pembaca sudah memiliki koneksi dengan novel kita, sehingga mendorong mereka untuk membuka lembar selanjutnya.

Jika kamu gagal untuk membangun scene yang dramatis, maka scene yang kamu buat harus dipotong, atau terus menerus diedit ulang hingga menjadi scene yang menarik. That’s it! (Divan Semesta)


Related Posts with Thumbnails
Diberdayakan oleh Blogger.