Kau harus memiliki stamina untuk mentransformasikan sebuah draft pertama yang ringan menjadi sebuah cerita dengan kekuatan yang simultan.
Gunakan empat strategi ini untuk membuat draftmu menjadi novel yang berbobot dan berkembang. Namun, sebelum itu saya akan menjelaskan siapa novelis itu: novelis adalah pelari jarak jauh yang harus memiliki stamina yang tangguh; seorang supir truk tronton antar provinsi atau pengarung samudera atau Cheng-Ho-nya di dalam samudera penulisan. Tidak ada pelari
sprint, atau penulis karbitan di dalam pembuatan novel. Jika memang ada—di dalam dunia penulisan—tentunya tidak untuk novelis.
Mengapa?
Sebab permasalahannya, di dalam novel terdapat banyak karakter, terdapat banyak
scene/adegan, terlalu banyak struktur cerita dan halaman yang harus dibangun, dan kalimat yang unik untuk dituliskan, bahkan ditulis ulang, direvisi, dan dipoles, dipercantik seperti sepatu kulit Edward Forrer.
Ketahanan/stamina memang merupakan kunci untuk menyelesaikan sebuah tugas. Meski demikian, stamina tidak juga menjadi faktor penentu. Karena, jika penulis novel diibaratkan sebagai sesuatu yang harus menjelajah jauh, maka pembaca novel bisa juga diibaratkan sebagai pelari maraton olimpiade.
Bayangkan, mereka harus berlari puluhan kilometer, dan ini berarti proses revisi harus seimbang dengan proses panjang yang harus mereka lakukan di dalam berlari. Proses revisi itu mesti berdarah-darah, harus berhati-hati memilih kata dan bahasa karena jika kata salah digunakan, maka kata-kata itu seperti halnya kubangan di tengah jalan yang akan mencelekai dirimu ketika kau mengendarai motor di jalan Margonda. Itulah, mengapa sudah kukatakan saudara, proses revisi itu mempertaruhkan
passion, mempertaruhkan hasrat pembaca, dan tentu saja, mempertaruhkan harga diri kita, agar si pembaca mau mengikuti, berkeliling-keliling, dan masuk menjelajah tulisan kita.
Membuat novel bukanlah sebuah pekerjaan ringan. Dalam pembuatan narasinya kita harus berputar-putar, dan seperti itulah yang harus dilakukan, yakni: membuat pembaca mabuk hingga tetesan terakhir 'tinta' yang kita tuangkan. Sebagai seorang novelis, kamu tentu memerlukan strategi/teknik yang kongkret untuk menjadikan draft pertamamu menjadi kisah panjang yang bisa membuatmu berdiri tegak.
Inilah aturan-aturan yang akan membuat pembacamu tidak jatuh tertidur karena bosan, atau menyerah dan modar sebelum mereka menuntaskan bab terakhir
masterpiece-mu: novelmu.
TULISKAN SELURUH DRAFT PERTAMAMU DENGAN CEPAT
Aturan pertama dalam membuat novel adalah haram untuk memfokuskan diri dengan revisi. Dalam sesi ini kamu harus benar-benar menggodam atau menghancurkan hasrat untuk merevisi yang kamu tulis. Pokoknya, tuliskan saja!
Well, jika kamu
perfectionist, sok sempurna, hal ini akan menyulitkan kamu, karena proses penulisan draft pertama dengan cepat berarti mencoba memaafkan tulisanmu yang,
amit-amit butut.
Cepat memang berarti kacau balau dalam pemilihan diksi, sintaks, susunan/kaidah berbahasa, tapi meski dengannya, merasa mengkhianati ego, tetap saja hal itu sebanding dengan harga yang kau bayarkan untuk membeli: mengalirnya tulisanmu dalam pembuatan draft pertama. Tidak ada jalan untuk menulis draft pertama selain menggunakan kecepatan,
fast and furious seperti judul sebuah film butut. Dan sesungguhnya apa yang saya sampaikan ini sama dengan yang disampaikan film
Finding Forester, menulislah dengan perasaan dan mengeditlah dengan pikiran, bukan?
Pokoknya, nih saya kasih tau nih, tulislah draft pertama seperti kecepatan peluru yang menghabiskan hidup Kurt Cobain. Menulislah seperti bergegasnya pembabat hutan saatmenggergaji kayu di belantara Kalimantan, kalau perumpamaan itu terlalu mengawang, berlarilah seperti bencong-bencong taman Lawang saat dikejar Satpolnya Fauzi Bowo. Bisakan?
Ya, ya, karakter yang kau gunakan di awal draft itu mungkin terkesan mentah, subplotmu akan terasa tidak tereksplorasi dengan baik, tapi melajulah, sebab ketika bergegas kau tidak memiliki pilihan selain mengkhatamkan sebuah garis cerita. Dengan melakukan itu, kau akan berhasil menghalau godaan-godaan untuk merevisi yang akan menyelewengkan dirimu untuk menyelesaikan draft awal novelmu (Kau bisa! Kau baru harus merevisi membuat plot, karakter yang kuat, kata-kata yang berbobot, jika draft awalmu sudah selesai).
Inilah
stressing pointnya, bahwa dengan menghindarkan diri dari revisi, saat pengerjaan draft pertama maka kau tidak menyia-nyiakan waktumu. Revisi di draft awal? Oh, (maaf) peduli setan!
Pertanyaan selanjutnya, seberapa cepat yang harus kamu lakukan dalam menyelesaikan
draft awal?
Tergantung kecepatan penulis. Kebiasaan alamiah saya adalah bekerja santai, tetapi saya menulis manuskrip awal dalam waktu
six pack, oh... tidak, saya melantur lagi, maksudnya: saya menyelesaikan dalam waktu enam bulan. Dan kalau tujuh bulan, sepertinya akan ada ritual bid’ah yang terpaksa saya lakukan: ritual tujuh bulanan misalnya.
Oke,
back to my track, saya biasanya menyelesaikan dua halaman setiap saya duduk. Dan jika kamu melakukan hal yang sama, mendedikasikan dirimu untuk menulis tanpa mengedit, maka kamu akan tekejut betapa
draft awal itu bisa kau selesaikan dengan cepat.
Dan itulah waktunya untuk menulis ulang, memulainya dengan menggunakan kecanggihan otakmu (kencanggihan merevisi) untuk membawa pembaca, masuk ke dalam dunia yang kau ciptakan. Dengan merevisi, kau bisa menjadikan genit sebuah kata, membuat sebuah kalimat menjadi cantik dan seksi, menjadikan alurmu sekuat Goliath, dan menegaskan penokohan, sehingga si pembaca menjadi susah berpaling dari tulisanmu!
(Divan Semesta)
Baca juga: Menyelesaikan Novelmu dalam Empat Tahapan Sederhana (bagian 2)