5 Langkah Sederhana untuk Memulai Sebuah Cerita

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Minggu, 29 November 2009 2 komentar

Untuk memulai sebuah tulisan (cerita) memang tidak segampang menyibak gorden jendela. Malah banyak yang bilang bahwa memulai sebuah tulisan itu sulitnya bukan main. Itu bisa dibuktikan jika kita menghadiri acara workshop kepenulisan. Di saat sesi tanya-jawab, pasti ada saja seseorang yang mengangkat tangan kanannya untuk kemudian bertanya, “Bagaimana sih caranya memulai sebuah tulisan?” Padahal, kalau dipikir-pikir, buku-buku tentang kepenulisan itu sudah banyak yang diterbitkan. Arswendo sudah menulis Mengarang itu Gampang, A.S Laksana juga sudah membuat buku Creative Writing, dan masih banyak lagi buku-buku yang serupa dengan itu, tapi—apa boleh buat—sepertinya permasalahan tentang mengawali sebuah tulisan itu memang tidak akan pernah hilang sampai kiamat datang (hehe. Lebay!).

Baiklah, untuk menghindari kalimat basa-basi, di bawah ini akan saya paparkan lima langkah sederhana dalam memulai sebuah tulisan (cerita). Here we go!


1. Mulailah dengan Dialog
“Hanun, pergilah ke rawa di seberang Bukik Barisan. Biasanya di sana tumbuh aneka bunga. Petiklah setangkai dua tangkai untukku. Rasanya, penat ini terlerai bila memandang bunga-bunga,” pinta Kakek. Matanya mengedip-ngedip pelan, kulit lisutnya mengernyit dan lewat sorotan matanya, Kakek tidak lagi seriang dulu. (Bunga dari Peking, cerpen Zelfeni Wimra)

2. Mulailah dengan Deskripsi Tokoh
Lelaki tua itu masih berbau rusa dan kaus oblongnya yang lusuh masih menebar bau pembakaran yang tidak sempurna. Sangit.... (Kitab Salah Paham, cerpen Puthut EA)

3. Mulailah dengan Berita di Koran atau Televisi
Jumlah anak balita kurang gizi di Indonesia sekitar 23 juta. Dampak kurang gizi adalah terhambatnya pertumbuhan otak dan fisik. Begitu melewati usia dua tahun tanpa asupan gizi seimbang, kondisinya tak dapat diperbaiki lagi. Citra CT-scan akan memperlihatkan gambar otak yang tidak padat alias otak kosong.... Bersiaplah memanen generasi yang hilang. Tidak lama, cuma dua dasawarsa lagi. (Kompas, Selasa 11 Oktober 2005)

Rombongan sirkus itu muncul ke kota kami....
(Sirkus, cerpen Agus Noor)

4. Mulailah dengan Adegan
Ia menulis puisi panjang di depan sebujur tubuh kaku istrinya. Tidak ada kata-kata; mati, kematian dan airmata di dalam puisi itu, yang adalah buah apel, meja makan, dan yang paling banyak adalah: usaha mati-matian. (Kematian Seorang Istri, cerpen Puthut EA)

Seminggu setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappucino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya. (Rembulan dalam Cappucino, cerpen Seno Gumira Ajidarma)


5. Mulailah dengan Seting Tempat

Dalam satu badai rasa jemu, ia terdampar di taman dan duduk di kursi sambil memakan jagung rebus begitu perlahan, sebutir demi sebutir, seolah di butir terakhir ia akan bertemu kematian.... (Cinta Tak Ada Mati, cerpen Eka Kurniawan)

Dari jauh sudah terlihat pohon itu berdiri tegak di tengah padang. Setelah berhari-hari menempuh daerah yang kering kerontang dan terpanggang matahari, pemandangan yang rimbun seperti itulah yang sekarang kubutuhkan.... (Sebatang Pohon di Tengah Padang, cerpen Seno Gumira Ajidarma)

Selesai! Sebenarnya masih banyak lagi tips untuk memulai sebuah cerita. Tapi, di sini saya hanya menampilkan lima cara saja dulu. Cara yang lumayan sering digunakan dan insya Allah mudah dipelajari. Silakan teman-teman coba semuanya, satu persatu. Dengan kita menguasai beberapa cara mengawali tulisan (cerita), semoga kita semua terhindar dari pembukaan cerita yang klise dan sudah ketinggalan zaman seperti, “Pada suatu hari....”, atau “Matahari pagi bersinar indah sekali....


Oke, terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini sampai selesai. Semoga bermanfaat. Jika kalian ada masukan, tulis komentar di bawah, ya. Senang jika kita bisa berbagi.

Salam,


Ilustrasi: Karya Ester Garcia Cortes)


Tanya-Jawab Seputar Menulis Buku Anak

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Kamis, 19 November 2009 8 komentar

Aku ingin jadi penulis buku cerita anak. Tapi aku tidak punya background, aku bukan siapa-siapa dan tidak kenal siapa-siapa. Bisa nggak, ya?

Siapa saja bisa jadi penulis asal memang ada keinginan. Akan ada banyak orang yang menolong kita sepanjang perjalanan kita. Penerbit, editor, illustrator, dll. Jadi memang hanya modal mau saja.

Bagaimana cara cari tahu tentang penerbit? Aku nggak kenal penerbit satu pun!
Tinggal pergi ke toko buku, lihat buku-buku yang ada. Catat alamat dan kontak dari penerbit-penerbit (tertulis di dalam sampul buku atau di back cover). Perhatikan selera dari masing masing penerbit. Teliti penerbit A biasa menerbitkan buku seperti apa, penerbit B seperti apa, dll.

Kalau nggak kenal memang boleh langsung ngirim naskah?
Boleh banget! Langsung saja kirim. Jangan lupa satu minggu setelah kirim, cek apakah memang naskah sudah tiba dengan selamat. Jangan sampai sudah menunggu 3 bulan ternyata naskah tidak sampai.

Kalau mau bikin buku anak bergambar, yang dikirim apa, ya? Teks saja, atau beserta gambar atau gimana? Terus kalau aku nggak bisa gambar gimana?
Biasanya yang aku lakukan adalah mengirimkan teks dan contoh gambar dari beberapa illustrator. Illustrator yang disukai penerbit yang akan dipilih. Ada juga penerbit yang punya in house/rekanan illustrator sendiri. Tapi tetap saja kita boleh merekomendasikan illustrator. Alasan kenapa aku tidak pernah langsung mengirimkan teks beserta gambarnya: selera penerbit berbeda-beda, kita tidak tahu illustrator mana yang mereka sukai dan gambar tidak bisa dibuat sebelum mengetahui ukuran buku dan yang lebih penting lagi, konsep buku juga harus digodok dulu.

Aku nggak kenal illustrator. Gimana, dong?
Aku dulu pasang iklan lowongan di kampus-kampus dan juga pasang iklan di milis. Juga bisa minta dikenalin oleh penulis lain atau jika kenal satu saja illustrator, bisa merembet ke teman-temannya. (Jika perlu, aku bisa kenalkan ke beberapa, di milis Pembaca Buku Anak ini juga banyak anggota teman teman illustrator)

Siapa yang membayar illustrator?
Ini bisa banyak arrangement. Bisa penerbit yang bayar, bisa penulis yang bayar, bisa juga bagi royalty antara penulis dan illustrator.

Berapa sih fee illustrator?
Beragam banget. Tergantung senioritas illustrator dan tergantung gambar manual atau komputer. Basically tergantung nego. Rangenya antara Rp 40,000–Rp 120,000 per halaman (mungkin ada juga yang di luar range itu).

Terkadang ada penerbit yang menawarkan untuk beli putus atau sistem royalty. Sebaiknya pilih yang mana?
Positifnya dari beli putus: uang diterima di depan dan jumlahnya pasti.
Negatifnya dari beli putus: jika cetak ulang atau license rights dibeli oleh penerbit luar negeri, nggak dapat lagi.
Positifnya dari royalty: jika cetak ulang atau rights dibeli oleh penerbit luar negeri, tetap dapat bagian.
Negatif dari royalty: uang diterima belakangan (setelah ada penjualan) dan jumlahnya tidak pasti (tergantung penjualan).
Setiap orang punya kondisi yang berbeda, jadi masing-masing yang harus menimbang semua positif dan negatif dan menetapkan mana yang ia akan ambil.

Berapa lama sih waktu tunggu kabar apakah naskah kita diterima atau ditolak?
Beragam sekali! Pengalamanku rangenya di antara 24 jam dan lebih dari satu tahun!

Boleh nggak sih kontak ke penerbit untuk nanya-nanya apakah naskah kita diterima atau tidak. Apakah mengganggu?
Boleh asal tidak terlalu sering. Pertama mengirim, pastikan bahwa naskah sudah tiba dengan selamat. Jika dibilang waktu review adalah 3 bulan, 3 bulan kemudian boleh menanyakan. Jika belum ada kabar, tanyakan sebulan sekali.

Boleh nggak ngirim naskah yang sama ke lebih dari satu penerbit yang berbeda?
Sebaiknya jangan, tapi ada juga beberapa penerbit yang memperbolehkan itu. Sebaiknya tanya ke penerbitnya apakah itu diperbolehkan. Tapi sebaiknya tulis saja lebih banyak cerita, supaya punya cukup bahan untuk disebar ke banyak penerbit.

Aku sudah mengirim berkali-kali, tapi ditolak terus. Gimana, dong?
Kirim lagi! Serius! Karena penolakan naskah itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Bisa penerbit sudah penuh jadwal terbitnya untuk tahun itu, bisa naskahnya bukan tipe yang sedang dicari penerbit. Naskah dan penerbit itu jodoh-jodohan. Pernah aku mengirim naskah A ke penerbit X dan naskah B ke penerbit Y, dua-duanya ditolak. Lalu aku coba kirim naskah A ke penerbit Y dan naskah B ke penerbit X (kutukar), dan dua-duanya langsung diterima. Jadi tetap kirim naskah yang ditolak ke penerbit lain, dan kirim naskah lain lagi ke penerbit yang baru menolak (jadi penting untuk rajin menulis untuk punya stok naskah). Juga rajin-rajin ke toko buku untuk melihat “selera” dari masing-masing penerbit.

Ide suka buntu. Gimana dong caranya supaya dapet ide?
Untuk buku anak, yang paling manjur adalah sering-sering bermain dengan anak. Masuklah ke dalam kehidupan mereka. Selain dari itu, sering-seringlah bermimpi. Juga baca buku yang banyak (tidak hanya buku anak).

Nb: FAQ ini ditulis oleh Mbak Arleen Amidjaja—penulis buku anak, yang saya copas dari milis Pembaca Buku Anak (penulis-bacaan-anak@yahoogroups.com). Semoga bermanfaat, ya!

Salam,

(Ilustrasi: Karya Ester Garcia Cortes)


Revisi atau Mati

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Minggu, 15 November 2009 0 komentar

Dalam dunia kepenulisan, revisi adalah hal yang tidak bisa kita abaikan. Untuk bisa menciptakan tulisan yang bagus, tentu kita jangan pernah sungkan untuk melakukan revisi. Penulis yang baik adalah penulis yang tidak takut untuk merevisi tulisannya yang bahkan sudah selesai.

Namun, seperti apa sih kegiatan merevisi itu? Apa bedanya dengan mengedit? Dalam dictionary.com disebutkan bahwa revisi adalah: to alter something already written or printed, in order to make corrections, improve, or update: to revise a manuscript. Merevisi artinya mengubah sesuatu yang sudah ditulis atau dicetak, dalam rangka untuk melakukan koreksi, memperbaiki, atau memperbarui. Editing adalah bagian dari revisi, tapi editing tidak sampai mengubah substansi dari sebuah tulisan, sedangkan merevisi itu kadang harus menulis ulang sebuah tulisan yang sudah selesai! Oh, tidak! Hehehe....

Seperti ketika sedang menulis puisi, misalnya, tentu kita sering menganggap bahwa puisi adalah sesuatu yang sakral, yang tidak boleh kita ubah sama sekali. Kalau puisi itu kita revisi, kita merasa berdosa sekali, dan puisi tersebut kita anggap sudah tidak suci lagi. Padahal, untuk membuat puisi yang bagus pun kita harus tetap melakukan revisi. Puisi bukan kitab suci, jadi jangan takut untuk merevisi demi mendapatkan hasil yang bagus dan berkualitas.

Sebagai contoh, saya pernah menulis puisi seperti ini:
Adakah yang lebih tidak tahu diri dari duri yang
tertancap di telapak kaki ketika kita sedang berlari? Adakah yang lebih duri dari kalimat caci yang meluncur dari bibir seorang kekasih ketika kita sedang bersedih?
Dan, adakah yang lebih caci dari hidup yang tak pernah menjanjikan apa-apa selain mati?
Kata tertancap di puisi tersebut dikritik oleh teman saya yang kebetulan adalah seorang penyair. Teman saya itu memberi saran agar kata tertancap diganti dengan kata menancap, demi mendapatkan efek psikologis pembaca. Setelah itu, saya pun merevisi puisi tersebut menjadi seperti ini: Adakah yang lebih tidak tahu diri dari duri yang menancap di telapak kaki ketika kita sedang berlari? Begitulah. Jika kita ingin membuat tulisan yang bagus, revisi adalah hal yang tidak boleh kita tinggalkan.

Minta Pendapat Teman
Sebagai penulis pemula, terkadang kita tidak bisa melihat kelemahan yang terdapat di dalam tulisan kita. Kita merasa tulisan kita baik-baik saja. Jadi, ketika ingin merevisi, kita sering bertanya-tanya dalam hati: “Apanya yang harus direvisi?” Untuk menghindari pertanyaan seperti ini, ada baiknya kita berbagi dengan teman dekat kita yang sesama penulis. Kita serahkan tulisan kita kepada mereka dan mintailah pendapatnya. “Gue baru buat cerpen, nih, tolong dikomentarin, dong!” Biasanya, dengan cara seperti itu, kita akan mengetahui kelemahan-kelemahan tulisan kita. Entah itu penokohannya yang flat (datar), terlalu banyak pengulangan kata, deskripsi setingnya yang tidak tergarap dengan baik, dialog yang terlalu kaku, banyak adegan-adegan yang tidak perlu, anakronisme, dan lain sebagainya. Setelah mendapat masukan seperti itu, tentu kita akan mendapatkan sedikit kemudahan ketika ingin melakukan revisi.

Saya juga sering melakukan hal seperti itu. Setelah selesai membuat tulisan, biasanya saya akan minta komentar dan masukan dari teman saya. Siapa tahu saja ada beberapa hal yang terlewat dari pengamatan saya. Setelah mendapatkan masukan, saya akan merevisi tulisan saya tersebut.

Jangan Pernah Malas
Jika kita malas merevisi, tentu karya-karya kita tidak akan bisa tergarap dengan maksimal, padahal karya kita itu memliki potensi yang besar untuk menjadi sebuah karya yang bagus. Dengan malas merevisi, itu artinya kita tidak peduli dengan nasib tulisan kita. Biarin ajalah, yang penting sudah jadi! Jika demikian, adalah wajar jika tulisan-tulisan kita nanti akan menjadi tulisan yang tidak menarik. Jangan jadi penulis yang egois. Jika ada masukan yang bermanfaat, ambillah. Jika menemukan kejanggalan dalam tulisan kita, ubahlah. Dengan kita melakukan revisi, tulisan kita akan menjadi tulisan yang bagus dan berkualitas. Wallahu alam.

Akhirul kalam, teruslah menulis dan jangan lupa merevisi! Jika ada masukan, bisa kalian share di kotak komentar di bawah ini. Terimakasih.

Wassalam,


*Ilustrasi: Karya Ella Dalus


Writer’s Block Dilarang Masuk!

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Senin, 09 November 2009 10 komentar

Kita pasti pernah mengalami kebuntuan dalam menulis, atau bahasa kerennya writer’s block. Namun, apa sih writer’s block itu? Ada yang bilang bahwa writer’s block adalah kutukan. Bahkan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa writer’s block itu cuma mitos. Tapi, hampir semua orang pasti pernah mengalami hal seperti ini: duduk di depan layar komputer, jari-jari sudah gatal untuk segera menekan tuts di keyboard, dan segala macam gagasan berkelindan di dalam tempurung kepala. Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Tak ada satu kata pun yang lahir. Ide tak juga kunjung mewujud. Dan, tentu saja, layar itu tetap saja kosong.

Writer’s block bisa dibilang misterius. Ia datang secara tiba-tiba tanpa pernah kita duga. Kadang ia datang dari awal ketika kita ingin menulis, sehingga membuat kertas atau layar komputer kita tetap saja kosong dari awal sampai akhir. Kadang ia datang di saat tulisan kita sudah lumayan banyak, sehingga kita sudah seperti pengendara motor yang sedang kehabisan bensin, mogok ditengah jalan tanpa bisa melakukan apa-apa. Bahkan ia juga pernah datang di saat-saat terakhir ketika tulisan kita sedikit lagi akan selesai. Bisa dibayangkan betapa menjengkelkannya jika hal tersebut terjadi oleh kita.

Mengapa Writer’s Block Bisa Terjadi?
Hernowo, penulis buku Mengikat Makna Update, pernah mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya writer’s block itu ada banyak. Di antaranya adalah: pertama, miskin bahasa atau kata-kata. (Punya banyak ide, tapi tak bisa dikeluarkan karena kata-kata yang tersimpan di dalam diri tak bisa menampung ide-ide hebat tersebut). Kedua, tak memiliki topik yang mengesankan (bermakna) untuk ditulis. Kita sudah kepengin atau kebelet menulis, komputer sudah dinyalakan, tapi yang mau kita tulis tidak menggairahkan diri kita, ya, akhirnya nggak ada yang bisa dikeluarkan dari diri kita. Ketiga, tidak berani dan enggan mencicil menulis. Sebenarnya kalau kita mau pelan-pelan mengeluarkan bahan-mentah tulisan, nggak ada yang namanya writer’s block itu. (baca Tentang Writer's Block, yang dimuat di Mizan.com).

Bagaimana Mengatasi Writer’s Block?
Bagi Eka Kurniawan, penulis novel Cantik itu Luka dan Lelaki Harimau, fenomena writer’s block serupa seorang pejalan yang terjebak di tengah belukar. Belukar itu bisa merupakan rumpun yang belum terjamah, bisa pula merupakan belantara jalan raya yang tanpa petunjuk. Untuk mengatasinya cukup sederhana, yaitu kita harus kembali lagi dari awal dan pertanyakan kembali apa tujuan kita menulis. Kata Eka Kurniawan, “Saya harus tahu mengapa saya masuk ke belukar tersebut: mengapa saya menulis sesuatu. Saya juga harus tahu apa yang harus saya bawa untuk membabat belukar, saya harus tahu segala yang diperlukan untuk menuliskannya. Dan saya tak akan terjebak selamanya di dalam belukar, jika saya tahu kemana arah yang hendak saya tuju: kemana saya ingin membawa tulisan saya.” (baca Writer’s Block, Bagian 1: Jalan Belukar yang dimuat di ekakurniawan.com).

Secara ringkas, mungkin tips-tips untuk menghindari writer’s block bisa saya paparkan sebagai berikut:

Tentukan Ide
Ini sangat penting. Ibarat ingin pergi ke suatu tempat, kita mesti tahu dulu tujuan kita. Kalau tidak, bisa-bisa kita bingung dan diam di tempat, atau paling buruknya kita akan tersesat. Itu sebabnya, sebelum menulis, kita mesti tahu dulu apa sih sebenarnya yang ingin kita tulis.

Write About what You Know
Ya, untuk seorang penulis pemula, sepertinya rumus “tulislah apa yang kamu tahu” itu memang bisa dijadikan sebagai panduan. Kadang kita memang selalu ingin menulis segalanya. Tentang mimpi, tentang nuklir, tentang seorang anak yang mengidap penyakit dislexia, tentang revolusi Perancis, tentang anarkis di Spanyol, tentang konspirasi sekte Mason Bebas, tentang si Google Guys Larry Page dan Sergey Brin, tentang penduduk asli Badui dalam, tentang sejarah Batavia, tentang Batik, tentang silsilah Nyi Roro Kidul, dan lain sebagainya. Semuanya ingin kita tulis, seolah-olah hidup kita sebentar lagi akan selesai. Padahal pengetahuan kita akan itu semua tidaklah terlalu banyak, bahkan bisa dibilang amat sedikit. Itu sebabnya, ketika kita ingin menulis sesuatu yang tidak kita tahu, writer’s block pasti akan datang menyapa kita. Waspadalah! Waspadalah!

Cari Data
Jika kita tetap ngotot untuk menulis cerpen atau novel tentang—misalnya—konspirasi sekte Mason Bebas, padahal pemahaman kita akan hal itu sangatlah sedikit, apa boleh buat, kita harus cari data yang banyak. Kita bisa searching di google.com dan cari sebanyak-banyaknya situs yang membahas tentang tema yang ingin kita tulis. Kita ketikkan saja kata kunci seperti Freemason, Zionis, Teodor Herzl, Kabala, Talmud, dan lain semacamnya. Atau mungkin bisa juga kita baca buku-buku yang membahas tentang permasalahan tersebut. Catat segala hal yang menurut kita penting. Insya Allah, dengan banyaknya data yang kita punya, writer’s block akan mudah diatasi.

Paragraf Pertama Begitu Menggoda
Buatlah paragraf pertama yang bagus—setidaknya bagus menurut kita. Sebab, paragraf pertama yang bagus bisa menyemangati kita untuk membuat paragraf-paragraf yang berikutnya. Gairah kita akan menjadi semakin terpacu. Sebaliknya, jika paragraf pertamanya sudah jelek, kita tentu jadi malas untuk membuat paragraf yang berikutnya. Itu sebabnya, menurut saya, paragraf pertama adalah unsur yang sangat penting dalam memulai sebuah tulisan. Seperti yang sudah kita tahu bersama, bahwa Gabriel Garcia Marquez butuh waktu yang sangat lama hanya untuk membuat paragraf pertama, dan setelah paragraf pertama sudah selesai, maka ia akan menulis terus tanpa bisa dihentikan.

Untuk membuat paragraf pertama yang bagus, tentu saja kita harus banyak berlatih. Kita bisa membaca tulisan-tulisan para penulis yang—katakanlah—sudah senior. Kalau perlu, tiru saja sampai sama persis. Setelah itu kita modifikasi dengan gaya kita. Tambal-sulam dengan kalimat-kalimat yang kita punya. Jangan khawatir, tindakan copy the master bukanlah tindakan kriminal. Bahkan penulis yang sudah terkenal pun pernah melakukan hal yang demikian. Saat ini kita sedang tidak berbicara tentang plagiat dan orisinalitas. Saat ini kita sedang belajar menulis. Itu saja.

Macet di Tengah Jalan?
Kalau ditengah jalan tiba-tiba tulisan kita macet, sabar dan tidak usah panik. Barangkali memang sudah saatnya kita untuk berhenti sejenak. Seduh kopi dulu jika kita memang pecandu kopi. Kalau perlu rebus indomie dulu, sebab siapa tahu saja kita sedang lapar. Tapi sejenak saja, jangan lama-lama. Takutnya nanti kita malah tercerabut dari tulisan kita. Sebab writer’s block sering juga terjadi karena hal ini. Ketika kita rehat terlalu lama, dan ketika kita mencoba untuk menulis kembali, tiba-tiba saja kita jadi bingung untuk melanjutkan tulisan kita itu. Feel kita jadi berbeda. Segala yang kita rasa jadi tak sama. Kita seolah-olah harus memulai lagi dari awal. Hufff..... Kalau terjadi seperti ini, kita bisa membaca tulisan kita itu dari awal, resapi setiap kalimat yang sudah kita tulis, rasakan segala rima yang sudah kita ciptakan, sampai akhirnya feel kita kembali seperti semula dan semangat kita kembali menyala.

Menemukan Jalan Buntu? Turn Off Your Computer!
Jika tulisan kita benar-benar macet dan seolah-olah kita seperti terjebak di jalan buntu dan kita tidak bisa bergerak kemana-mana, padahal segala daya dan upaya sudah kita kerahkan, mungkin memang sudah saatnya untuk segera mematikan layar komputer kita atau menutup buku tulis kita. Buka pintu kamar, dan bermainlah keluar rumah. Tak usah terlalu dipaksakan, yang penting kita sudah berusaha. Sebab, segala sesuatu yang terlalu dipaksakan itu tidak baik. Apa pun itu. Pergilah keluar rumah dan saksikanlah segala peristiwa yang terjadi di sekitar kita: sekumpulan bocah bermain kejar-kejaran, seekor kucing mengeong di pinggir jalan, tukang sayur sedang berjualan, dan lain sebagainya. Semoga saja dengan menyaksikan segala hal yang terjadi di sekeliling kita, energi menulis kita menjadi terpompa kembali. Dan jalan buntu yang semula menghadang kita, akan dengan mudah kita hancurkan.

Sepertinya sekian dulu tulisan ini saya buat. Semoga bermanfaat. Jika kalian memiliki tips-tips yang terlewat oleh saya, alangkah baiknya jika kita saling berbagi. Selamat menulis!

Salam,


*Ilustrasi Karya: Ella Dalus


Eka Kurniawan: Aku tak merasa menulis sebagai beban.

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On 1 komentar

(Poto saya copas dari wikipedia.org)

Sebelumnya saya agak nervous juga ketika ingin mewawancara Eka Kurniawan. Bukan apa-apa, Eka Kurniawan adalah penulis yang karya-karyanya sering diperbincangkan banyak orang, tulisan-tulisannya (baik cerpen maupun essai) pernah muncul di media-media nasional, bahkan salah satu novelnya yang berjudul Cantik Itu Luka telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dengan judul Bi Wa Kizu. Dengan rekam jejak seperti itulah akhirnya saya menganggap bahwa Eka Kurniawan adalah sosok yang sudah berada jauh di atas saya, mengawang-awang seperti awan dan tentu sulit sekali untuk dijangkau. Lagi pula, mengingat sindikat penulis hanyalah situs kecil dan tidak seperti situs-situs kepenulisan lainnya yang bisa dibilang sudah mapan, saya semakin merasa kecut. Namun, dengan agak sedikit nekad dan berpikir positif bahwa wawancara ini adalah untuk kebaikan, maka saya memberanikan diri mengajukan permohonan untuk melakukan wawancara kepada beliau. Alhamdulillah, dengan sangat baik hati beliau menerima permohonan saya dengan tangan terbuka. Maka, simaklah percakapan saya (Noor H. Dee) dengan Eka Kurniawan via e-mail di bawah ini. Semoga bermanfaat. Welcome to the show. Cheers!

Assalamualaikum. Apa kabar, Mas Eka? Sedang sibuk apa sekarang?
Kabarku baik. Kesibukanku: menyelesaikan novel ketiga yang sudah kukerjakan sejak tahun 2004. Pada saat yang sama juga mempersiapkan (sudah dalam bentuk draft) novel keempat. Di luar itu, menyempatkan diri menulis cerpen, esai, blog. Juga menulis script untuk televisi. Kadang bantu orang yang mau nulis buku (sekadar konsultasi atau sebagai ghost-writer). Lumayan sibuk juga, ya?

Kalau boleh tahu, pada tahun berapa atau pada usia berapa Mas Eka mulai menyukai dunia tulis menulis?
Kalau suka nulis, kayaknya sejak umur 12-an tahun. Sejak SMP. Waktu itu puisi pertamaku dimuat di majalah anak-anak. Tapi baru serius mau jadi penulis sekitar umur 20-an, di akhir kuliah.

Siapa sih pengarang yang paling menginspirasi Mas Eka dalam menulis? Kenapa?
Sekarang sih praktis aku baca siapa saja yang aku mau dan menarik perhatianku. Tapi dalam sejarah kepenulisanku, nama Knut Hamsun dan Pramoedya Ananta Toer bisa dibilang jadi pendorong aku jadi penulis. Novel Hamsun yang berjudul "Lapar" membuat saya ingin jadi penulis secara serius. Penelitian saya atas karya-karya Pramoedya merupakan pengalaman pertama saya bersentuhan dengan kesusastraan secara serius. Tapi selepas itu, sekali lagi, saya cenderung melahap buku karya siapa pun asal saya tertarik.

Apa yang Mas Eka dapatkan dari menulis?
Macem-macem. Aku ketemu istri juga karena menulis :-)

Sampai saat ini, Mas Eka sudah menulis berapa judul buku?
Buku pribadi baru (sudah?) 5 judul: Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (non fiksi), Cantik itu Luka (novel), Lelaki Harimau (novel), Gelak Sedih (kumcer), dan Cinta Tak Ada Mati (kumcer). Sebenarnya ada satu buku lagi: Corat-coret di Toilet (kumcer), tapi buku ini kugabung di buku Gelak Sedih, jadi nggak dihitung. Di luar itu, aku juga ikut di beberapa buku antologi bersama (rada susah ngitungnya, banyak!), juga nulis novel adaptasi (sekali), dan juga nerjemahin karya penulis asing (beberapa).


Di antara semua judul buku yang Mas Eka tulis, buku yang mana yang paling berkesan menurut Mas Eka? Bisa dijelaskan alasannya?
Setiap buku ditulis di waktu yang berbeda, maka kesannya juga berbeda dari waktu ke waktu.

Dalam sebulan, berapa buku yang Mas Eka beli/baca?
Nggak tentu. Kadang cuma 1 buku. Tapi bisa juga belasan buku kalau lagi semangat dan waktu melimpah.

Seberapa penting sih peran buku-buku yang Mas Eka baca dalam proses kreatif Mas Eka?
Tentu penting lah. Kira-kira kayak pemain bola mengintip pertandingan klub lain. Tapi di atas segalanya, aku membaca buku karena ingin membaca. Menulis atau tidak, aku suka membaca.

Buku apa saja yang paling berkesan buat Mas Eka, yang sering dibaca berulang-ulang?
Kecuali lagi riset, aku udah jarang baca buku berulang-ulang. Waktu sangat terbatas, dan masih banyak buku yang belum sempat dibaca.

Di antara genre fiksi dan non fiksi, Mas Eka lebih menyukai yang mana? Tolong diberikan alasannya ya, Mas.
Aku menyukai keduanya. Pada dasarnya minatku nggak cuma sastra. Aku baca buku filsafat, sejarah, antropologi, science. Yang nggak pernah kubaca paling buku "how to" dan buku-buku motivasi :-)

Menurut Mas Eka, apakah dari hanya menulis seseorang bisa survive dalam menjalani hidup ini?
Bisa ya bisa nggak. Seperti bidang lainnya. Ada yang bisa ada yang nggak. Penulis sukses, yang produktif dan dibayar dengan baik, tentu saja bisa survive. Tapi tentu juga nggak sedikit yang gagal. Memilih bidang profesi apa pun, pertanyaan itu bisa sama aja, kan?

Apa yang bisa membuat Mas Eka bertahan untuk tetap menggeluti dunia tulis-menulis sampai sekarang?
Pertama tentu karena senang. Karena senang, aku tak merasa menulis sebagai beban. Karena tak ada beban, ya nggak ada alasan untuk tidak bertahan. Kedua, aku telah memilih menulis sabagai profesiku. Tentu mesti ada komitmen.

Bagaimana peran istri, Mbak Ratih Kumala, dalam proses kreatif Mas Eka?
Dia masak mie goreng pas aku lapar :-)

Apakah Mas Eka pernah mengalami kebuntuan dalam menulis, atau bahasa kerennya writer’s block? Dan bagaimana Mas Eka menyikapinya?
Sering. Kalau pas datang writer's block, ya tinggalin tulisannya. Aku bisa isi waktu dengan baca buku, lihat film, ngegambar atau bahkan pergi bareng. Intinya, nggak maksain. Tentu saja kecuali untuk tulisan pesanan yang ada deadlinenya, pasti aku paksain nulis apa pun yang terlintas. Kalau waktu nulis novel atau cerpen, writer's block kuanggap aja alarm untuk ngelakuin hal lain.

Sebelum menulis, kira-kira yang paling penting untuk seorang penulis pahami dalam memulai sebuah tulisan itu apa?
Tahu apa yang mau ditulis. Itu saja sudah cukup.

Bagi Mas Eka, suasana yang paling kondusif untuk menulis itu seperti apa?
Asal nggak ada yang ngajak ngobrol.

Obsesi Mas Eka saat ini?
Nyelesain novel ketiga.

Pertanyaan terakhir, bisa berikan kami tips-tips sederhana ketika ingin membuat sebuah tulisan yang bagus?
Menulis saja secara jelas dan runtut.

Oke. Terimakasih atas jawaban-jawabannya, ya. Semoga Mas Eka dan Istri selalu diberikan kesehatan, sehingga bisa selalu tetap produktif dalam menulis. Wassalamualaikum....
Terima kasih.


_______________________________
Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya tahun 1975. Novelnya Cantik Itu Luka (2002) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dengan judul Bi wa Kizu (2006). Tulisan-tulisannya bisa dibaca di www.ekakurniawan.com. Saat ini tinggal di Jakarta.



Menulis adalah Ekskresi

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Minggu, 08 November 2009 3 komentar

Menulis itu apa?


Menulis adalah ekskresi: mengeluarkan banyak khayalan yang ada di dalam diri, di dalam angan supaya kondisi kita kembali normal adanya. Mari kita sederhanakan. Ekskresi muncul karena input. Kita makan maka keluarlah itu ampas melalui keringat atau melalui sesuatu yang saya tidak tega menyebutkannya. Ketika kita ditempa sekian banyak informasi yang datang, input itu mau kita apakan?. Dibiarkan menjejal di kepala? Kalau sesudah makan kita nggak ekskresi, badan bakal jadi septictank yang berjalan. Kita pasti kesakitan[1].

Kalau kita sudah melahap informasi—atau dipaksa memakannya—kejadiannya bakal sama. Pening kepala ini kalau tidak segera mengeluarkannya. Itulah mengapa saya bilang menulis itu ekskresi, sebab menulis bukan saja terkait dengan kesehatan tubuh, melainkan kesehatan mental juga.

Menulis bisa dianalogikan dengan apa saja. Kalau bermusik adalah seni melukis dengan nada, melukis adalah seni ekspresi menggunakan kanvas, maka menulis itu apa? Menulis itu merupakan seni melukis dengan kata. Melaluinya kita dapat mengekspresikan kegundah-gulanaan mengenai fenomena; mendeskripsikan khayalan-khayalan absurd didalamnya, dan merekonstruksi dunia yang ada di dalam benak manusia.

Dalam kaitannya dengan hal yang terakhir, seorang filsuf China pernah mengatakan bahwa, dengan menulis kita dapat menurunkan bulan yang ada di atas angkasa menuju dunia manusia.

Meski terlalu berlebihan, saya meng-akur-kan pernyatan filsuf itu. Mudah-mudahan kamu mengerti tentang ini :).

Nah, setelah membicarakan perumpamaan menulis yang kurang serius. Sekarang saya akan memaparkan usaha menulis menurut pandangan saya pribadi.

Bagi saya, menulis adalah usaha untuk masuk ke dalam. Menulis adalah memasuki jiwa untuk memecahkan misteri diri kita selaku manusia. Menulis adalah kegiatan meneropong neumena[2] yang ada dibalik fenomena. Ada sebuah cerita pendek mahsyur, yang bakal menjelaskan bagaimana kegiatan menulis dapat menjadi kegiatan meneropong neumena. Ceritanya begini:

Suatu saat seorang pemuda kebingungan mencari kunci di beranda rumahnya. Setelah sejam dua jam mencari dan tidak menemukan kunci, seseorang bertanya padanya,

“Dimana kau jatuhkan kunci itu?”

Sambil garuk-garuk giginya (?) si pemuda berkata, “Saya jatuhkan di dalam rumah.”

“Aneh-aneh saja kau ini! Kalau terjatuh di dalam rumah kenapa mencarinya di beranda?”

Dengan mimik lugu, pemuda itu bilang, “Abisnya di dalam gelap, sedangkan diluar terang!”

Bagi saya cerita itu begitu membekas di dalam diri saya. Saya menganggap bahwa dia—yang menulis cerita—adalah manusia yang senantiasa meneropong pendalaman dirinya. Ia menemukan bahwa manusia selalu mencari jawaban di luar jiwa. Manusia takut untuk mengeksplorasi padahal diri manusia kaya akan jawaban kehidupan. Manusia takut untuk ‘mengekskavasi’ padahal di dalam diri manusia terdapat penyembuh bagi kesakitan jiwa; padahal di dalam jiwa terdapat antibodi yang bakal menyembuhkan kegelisahan—yang jika dibiarkan dapat menyebabkan manusia jadi penghuni tetap rumah sakit jiwa.

Menulis berarti menguak berbagai macam penyadaran. Menulis berarti membedah dan menemukan diri menggunakan teropong neumena. Seandainya neumena ditemukan, maka penemuan itu akan memperkuat penghambaan diri seseorang pada-Allah-nya.

Dengan menulis, saya senantiasa berusaha untuk menghadirkan diri sebaik-baiknya dihadapan Dia, dihadapan Allah selaku pemilik saya.

Menulis itu apa?

Bagi saya, menulis adalah kegiatan melawan. Saat menulis, dalam diri saya tumbuh kesadaran bahwa das sein tidak sesuai dengan das sollen, bahwa realita tidak sesuai dengan bayangan di dalam benak. Dengan menulis saya menyadari bahwa realitas sosial, tidak sesuai dengan kemanusiaan[3]. Saya menyadari bahwa banyak anak manusia mati karena negara tidak memberikan jaminan kehidupan untuknya. Saya menyadari bahwa banyak ketimpangan terjadi; menyadari bahwa banyak dari kalangan kita yang dizalimi, maka di sanalah menulis menjadi sebuah alat untuk mengembangbiakan ‘subversivisme’. Maka untuk itulah saya berharap kalian mau menulis dan menjadikan realitas sosial sebagai pemantik untuk mengabarkan kebobrokan dan penindasan sistemik yang nyata dan merajalela.

Ayo, jadikanlah tulisan sebagai lambang keterjijikan diri pada sistem bobrok yang menghegemoni ini. Ayo muntahkan! Ayo, jadikanlah realitas sosial sebagai detonator jiwa. Ayo ledakan! Sebab, menulis adalah berkata-kata, sebab berkata-kata adalah: SENJATA![4].

Menjadi Penulis Hebat
Nah, sekarang kita bicara bagaimana caranya jadi penulis hebat. Gimana caranya? Saya juga tidak tahu, karena saya jarang merasa hebat. Lagipula hebat itu kan relatif. Kehebatan menurut kamu mungkin berbeda dengan kehebatan saya.

Kamu mungkin menganggap bahwa penulis terhebat di Indonesia itu adalah Dee Supernova, Djenar Maesa Ayu, atau Helvy Tiana Rosa. Namun, bagi saya, penulis terhebat adalah Pramudya Ananta Toer[5]. Itulah, mengapa saat ini saya jadi kesulitan membuat tips untuk menjadi penulis hebat (karena saya merasa seperti Liliput di hadapan ke-Gulliveran-nya Mas Pram). Tapi baiklah, karena saya harus profesional, maka saya bisa berpura-pura, melakonkan diri jadi penulis hebat, dan kamu pun jangan lupa untuk membayangkannya.

“Bagaimana caranya menjadi penulis hebat?”

“Hm... saya bisa menyelesaikan bahasan ini hanya dengan satu kata, yakni, menulislah!”

“Ah, kamu mah nge-bete-in aja.”

“Lha, mau gimana lagi? Ya satu-satunya cara cuma begitu. Nulis itu kan sama aja dengan naik sepeda, berenang, atau main bilyar. Kalau mau bisa jadi penulis hebat, ya harus praktek! Jalani proses penulisan. Jangan menyerah.”

“Kalo jawabannya cuma gitu doang, saya jadi nyesel memuat tulisan kamu di situs keren ini! Perasaan dalam pelatihan-pelatihan penulisan, sarannya nggak gitu doang, deh. Kamu menyesatkan saya, ah!”

“Ye, dibilang nggak percaya. Nih, saya kasih tahu. Begini, meski kamu ikut pelatihan dua ribu kali sama Ustad Roy, kamu tetep nggak akan jadi penulis hebat, kalau kamu nggak menulis. Fungsi pelatihan penulisan itu sebenarnya bukan apa-apa selain memotivasi, supaya kamu mau nulis, dan mau menjalani proses untuk menjadi penulis hebat."

“Perasaan nggak gitu-gitu amat. Seingat saya, kalau mau jadi penulis hebat, harus baca buku.”

“Nah, itu tahu, tapi apa baca buku itu menulis?. Baca buku ya baca buku! Bukan menulis!"

“Tapi, bukannya dari membaca, kita bisa dapat inspirasi, dapat pemantik seperti yang kamu bilang di atas tadi?”

“O, nanya tentang inspirasi, toh? Okey saya kasih tahu. Siap mendengarkan?”

“Siap!”
***
Banyak orang yang ingin menulis tetapi tak mendapat inpirasi. Dia menunggu-nunggu inspirasi seolah-olah inspirasi adalah bayi yang bakal jatuh dari paruh bangau. Tidak-tidak! Jangan seperti itu, jangan menunggu, seolah-olah inspirasi akan datang langsung begitu saja. Undanglah inspirasi datang. Pancinglah dia!

Bagaimana cara memancingnya?. Ada banyak cara, misalnya dengan jalan-jalan, nonton film, atau membaca buku. Kita akan bahas satu persatu.

Jalan-Jalan
Kamu bisa melakukannya ke mana saja. Misalkan melalui jalan yang jarang kamu lalui. Lihat keadaan, lihat pagar, lihat tukang surabi, lihat selokan yang kamu lewati. Nah, itu yang keuangannya pas-pasan kayak saya. Kalau kamu punya uang banyak, kamu bisa pergi naik mobil ke daerah-daerah yang belum pernah kamu singgahi; tinggal di pedesaan dan berinteraksi dengan orang-orang baru yang bakal membuat kamu fresh. Atau kamu bisa pergi ke pantai, atau naek gunung, dan lain sebagainya.

Nonton Film.
Film ini benar-benar membantu, untuk mendatangkan sesuatu yang kita obrolkan. Mengenai film, saya pernah punya pengalaman pribadi. Suatu waktu saya pernah iseng menonton film India. Film itu mengisahkan tentang cinta (standar), dan di film itu, ada dialog yang mengharuskan saya untuk menulis, karena saya terinspirasi.

Suatu saat Sanjay membuat Prita menangis. Prita masuk ke kamar dan mengurung diri selama berhari-hari. Karena keperihan yang dalam, saat disuruh orang tuanya makan ia selalu menolaknya.

Orang tua Prita khawatir kesehatan anaknya, maka diutuslah nenek yang sangat menyayangi Prita. Setelah mengetahui apa yang menyebakan tubuh Prita menjadi kurus, neneknya memberikan pertanyaan yang menyadarkan, “Jika hati terluka, mengapa justru perut yang kau sakiti?.”

Jdak! Kalimat-kalimat itu mengiang-ngiang di kuping. Setelah selesai nonton, saya langsung menulis dan mengembangkan perkataan itu dalam bentuk essay.

Membaca buku
Kata seseorang, seorang penulis yang baik adalah seorang pembaca yang baik pula. Seorang kawan mengatakan demikian. Membaca adalah salah satu cara terbaik dalam mengembangkan imajinasi dan mendatangkan inspirasi. Jika kamu menonton, kamu terlalu dimanjakan oleh visualisai sehingga benak kamu tidak terlalu memainkan imajinasi. Membaca itu berbeda, dengannya kita dapat membuat imajinasi yang tak terkira.

Pokoknya, cobalah baca novel, ensiklopedia, atau kumpulan puisi, essay, dan cerpen. Jika bacaan itu bagus, saya yakin kamu bakal tersentak dan tiba-tiba... inspirasi yang kamu tunggu-tunggu itu datang.

“Bang, kalau inspirasi sudah datang, apa yang harus saya lakukan?”

“Bang bang bang ... kamu yang BANGKONG![6]."

“Hehe... Gimana, dong?”

“Kamu ini kayak anak kecil yang maunya disuapin! Pokonya nulis! Nulis! Nulis! Dan nulis! Kalau udah dapet inspirasi nulis! Kalo belum dapet, undang itu inpirasi, terus nulis!”

“Kalau udah dapet inspirasi, harus segera ditulis ya, Bang?.”

“Ya jangan didiemin. Kalo dalam prinsip bisnis, uang itu harus diputerin supaya nggak abis, nah... inspirasi juga kayak gitu! Kalau inspirasi nggak langsung ditulis, nanti jadi basi. Kalau udah basi rasanya nggak enak, jadi hambar!”

“Hambar kayak nasi goreng yang kemaren abang masak itu, ya?” “Heu... kumaha sia we lah!. Tapi gimana nih, udah dapet poinnya belum?”

“Lumayan! Pokoknya kalau ada inspirasi langsung ditulis.”

“Nah, begitu dong! Sekarang dari obrolan ini, kamu dapet inspirasi nggak?”

“Dapet, Bang!”

“Kalau gitu langsung tulis. Omong-omong inspirasinya tentang apa?”

“Hehehe... jangan, ah. Nanti marah!”

“Ye, mau bikin penasaran, ya? Tentang nasi goreng, ya?”

“Bukan!”

“Tentang apa atuh?”

“Tentang upil! Upil yang nyempil di gigi abang!.

“Huarggggggggggh!”

Setelah Mendapatkan Inspirasi, Kemudian menulislah!<>Finding Forester mengajarkan bahwa di awal menulis kita harus melakukannya dengan hati. Setelahnya, baru gunakan pikiran.

Menulis dengan hati membuat penulisan kita lancar, tidak patah-patah, karena dalam menulisnya kita tidak menggunakan pikiran. Karenanya, wajarlah setelah tulisan selesai, kamu pasti akan menemukan tulisan yang tidak terstruktur. Hei! Jangan dulu kecewa, karena seperti halnya sesuatu yang tertumpah, kata-kata yang tertumpah bakal ada yang tidak klop dengan tema penulisan. Nggak apa-apa, jangan cemas, karena rata-rata penulis sekaliber apa pun pasti memiliki pengalaman seperti itu.

Setelah tertumpah baru tulislah dengan Pikiran. Edit tulisan kamu. Strukturkan! Kamu pilih-pilah kata, bolak-balikkan susunannya sampai pas seperti yang kamu inginkan, keinginan yang sekiranya sesuai dengan pemahaman pembaca yang bakal menilai kerja kamu. Setelah edit berulang kali. Selesailah itu tulisan. Lalu?

Sebarkan!

Mengenai sebar-menyebar tulisan ini juga bukan sesuatu yang mudah. Di awal penulisan kamu sudah harus mengetahui kalangan mana yang kamu bidik. Kamu sendiri udah tahu kan, kalau secara alamiah, ketika ada sesuatu yang disuka, pastilah ada sesuatu yang tidak disuka. Kalau kamu menulis sesuatu yang berat, misalnya ideologi dengan bahasa yang ilmiah maka ‘jangan kasih’ itu tulisan ke orang-orang yang kurang faham mengenai bahasan yang menjelimetkan. Kecuali, kamu mampu membahasakan dengan baik, sesuai dengan bahasa kalangan yang ingin kamu berikan.

Maksudnya bagaimana?

Begini, saya akan menuliskan pandangan mengenai ideologi. Menurut Marx, ideologi adalah kesadaran palsu, tetapi menurut Annabhani berbeda lagi. Ideologi merupakan sebuah pemahaman fundamental, pemahaman yang radic mengenai alam semesta manusia dan kehidupan. Yang dari landasan pemahaman itu, direkonstruksi way of life mengenai kehidupan.

Kalau saya bicara pada orang-orang kayak kamu, maka kita bisa nyambung, tanpa perlu menjelaskan lagi mengenai ‘kesadaran palsu’, makna ‘fundamental’, ‘radic’, ‘rekonstruksi’ dan ‘way of life’. Tentang hal itu, kita sudah bisa connect satu sama lainnya. Tapi coba utarakan hal itu pada ibu-ibu yang suka jualan gado-gado dekat kosan kita. Wah, pasti sangat sulit untuk dipahaminya.

Oleh karenanya, saat melakukannya, kamu harus menulis tulisan yang sesuai dengan segmentasinya. Sesuaikanlah! Pas-kan-lah, supaya kata-kata kamu, supaya pemikiran kamu bisa segera dimamah biak dan dicerna.

Saat informasi yang kamu sampaikan sudah pas dengan segmentasinya, kemudian massif dibaca ‘kalangannya’. Maka lama-kelamaan kalangan itu akan mengalami keinginan ekskresi seperti yang dulu pernah kamu rasakan. Mereka akan mengalami keinginan untuk memuntahkan, dan meledakkan.

Menyambung dengan bahasan kita sebelumnya, maka sejak saat tulisan itu dibaca, kamu sudah berperan sebagai pengembangbiak ‘subversivisme dalam berpikir. Maka sejak saat itulah kamu menjadi seorang yang ikut berpartisipasi untuk menutup zaman yang usang, kemudian menggantikannya dengan zaman yang baru. (Divansemesta)


Catatan Kaki:
1. Secara alamiah/hukum alamnya memang begitu. Air yang terus-menerus ada disebuah walungan (walungan= kolam). Lama-kelamaan akan mendangkal dan keruh seandainya air tersebut tidak mengalir. Komputer juga demikian. Coba, masukin data kedalam komputer 20 giga kita dengan film-film yang kapasitasnya ternyata lebih dari 20 giga, maka komputer kita bakal error. Ini sama saja dengan otak manusia.< 2. Neumena adalah sesuatu yang tersembunyi di balik fenomena. Orang-orang di Timur mengatakan apa yang disebut filosof barat tentang hal ini (neumena) sebagai hikmah.

3. Bukan kemanusiaan-isme atau humanisme. Saya tidak berpihak pada humanisme tapi saya berpihak pada kemanusiaan.

4. Saya membaca judul dari sebuah buku tentang kata-kata adalah senjata saya lupa bukunya apa.yang pasti buku itu terbitan INSIST. Cari, deh.

5. Coba kamu baca buku Tetralogi Pulau Buru-nya dia, mungkin anda bisa membandingkan sudut pandang kita mengenai kehebatan ini.

6. Kodok


Mengkritik dengan Cerdas

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Kamis, 05 November 2009 7 komentar

Sebagai seorang penulis--apalagi penulis pemula seperti saya--kadang kalau menerima kritik itu memang menjengkelkan. Bagaimana tidak? Kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat awal tulisan yang mantap, memikirkan ending yang aduhai, mencari metafora-metafora yang tidak kuno, memikirkan frasa-frasa yang menurut kita bertenaga, dan lain sebagainya. Tapi, ketika tulisan itu kita sebar ke orang lain, kok ya malah dikritik? Menyedihkan sekali, bukan? Padahal sebelumnya kita sudah yakin sekali bahwa tulisan kita ini adalah tulisan yang paling bagus senusantara. Kuntowijoyo sama Danarto mah lewat, begitulah kita berkata sehabis membaca tulisan yang baru selesai kita buat. Tapi, apa boleh buat, meskipun menjengkelkan, setidaknya kita juga harus tahu diri. Bahwa siapa tahu saja tulisan kita memang buruk, dan kitanya saja yang terlalu narsis. Bukankah konsekuensi seorang penulis itu adalah harus siap menerima kritikan? Kalau tulisan kita tidak mau dikritik, ya, sepertinya kita tidak usah menulis saja. Simpel, toh?

Dalam hidup ini kita memang tidak akan pernah bisa melepas diri dari yang namanya kritikan. Setiap orang dari berbagai macam profesi—petinju, pelukis, penari, supir taksi, karyawan kantoran, tukang bakmi ayam, dan lain sebagainya—pasti pernah dikritik. Begitu pula dengan penulis. So, enjoy aja, begitu kata iklan rokok yang sering kita lihat di televisi. Meskipun kita jengkelnya bukan main, sebaiknya kita berfikir positif saja, bahwa kritik itu adalah demi meningkatkan kemampuan menulis kita juga.

Nah, karena kita tahu bahwa dikritik itu tidak menyenangkan, maka sebaiknya ketika ingin mengkritik tulisan seseorang, kita juga harus memiliki siasat agar kritikan kita tidaklah terlalu pahit didengar. Meskipun ada perkataan “katakanlah kebenaran meskipun pahit”, tetapi untuk seorang penulis pemula (seperti saya, contohnya), kritikan yang pahit tentu saja bisa menghancurkan mental—dan bahkan bukan tidak mungkin penulis pemula tersebut akan berhenti menulis sebab dia memiliki pemikiran semacam ini: “Ah, gue emang nggak bakat nulis! Gue emang nggak bakat! Argh!!!” Nah lho! Makanya, kita juga harus hati-hati dalam memberikan kritik. Maksud hati ingin menolong, malah menghancurkan mental seseorang. Tentu kita nggak ingin semua itu terjadi.

Itu sebabnya, sebagai penulis, sepertinya kita juga wajib tahu tentang bagaimana cara memberikan kritik yang baik dan benar terhadap sebuah tulisan. Agar kritikan kita dapat membangun dan bukan malah mengancurkan mental seseorang.

Tujuan Mengkritik
Pertama mungkin kita harus tahu dulu apa tujuan kita mengkritik. Apakah kita mengkritik karena ingin memberikan manfaat kepada orang lain? Atau ingin mengajak berkelahi? Kalau ingin mengajak berkelahi, maaf, sebaiknya tidak usah membaca tulisan ini. Sebab, ditulisan ini saya hanya akan memaparkan tentang bagaimana caranya agar kita bisa membuat kritik yang bagus dan bermanfaat. Sebab, tujuan kita mengkritik itu memang seperti itu. Kita mengkritik untuk membantu orang lain, bukan untuk membuat mental seseorang menjadi runtuh.

Oke... mari kita mulai!

Beberapa Tipe Penulis
Ada beberapa penulis yang tidak bisa dikritik. Meskipun mereka berkata, “Eh, gue ada tulisan baru, nih. Mohon dikomentarin, ya.”, bukan berarti mereka ingin dikritik. Mereka hanya ingin dianggap betapa tulisannya sangat bagus. Istilahnya, mereka hanya ingin narsis. Jika berhadapan dengan penulis seperti ini, kita jangan terlalu serius menanggapi karya-karyanya. Sebab, jika tulisannya kita kritik, bisa dipastikan mereka akan selalu berkilah dan akan berkata seperti ini, “Oh, itu emang sengaja gue menulis kayak gitu. Biar nggak kayak kebanyakan orang. Itu style gue.”. Atau berkata seperti ini, “Ini gaya tulisan gue. Ini ciri khas gue. Gue emang sengaja nulis tanda serunya banyak-banyak. Biar orang lain pada tahu, bahwa kalau ada tulisan yang tanda serunya banyak-banyak, mereka pasti bisa nebak kalau tulisan itu adalah karya gue. Iya, gue akuin, untuk menciptakan gaya sendiri itu emang sulit. Tapi gue udah berhasil menemukannya. Yeah!” Hufff! Menghadapi penulis seperti ini, alangkah baiknya kita diam saja.

Ada juga beberapa penulis yang tahan banting alias siap menerima segala macam kritikan dengan lapang dada. Penulis tipe ini adalah penulis yang siap “babak belur” demi meningkatkan kemampuannya. Meskipun dikritik dengan cara apa pun, baik dikritik dengan pedas atau dikritik dengan halus, ia akan menerima dengan senyum merekah (meskipun hatinya berdarah-darah. Hehe). Tapi ingat, tidak semua penulis seperti itu.

Baca Dahulu Sebelum Mengkritik
Jika kita ingin mengkritik sebuah tulisan, kita wajib untuk membacanya terlebih dahulu. Bacalah dengan teliti, kata demi kata, peristiwa demi peristiwa, pokoknya segala hal yang ada di dalam teks tersebut harus kita baca sampai selesai. Buatlah semacam catatan di tulisan tersebut jika memang ada yang perlu kita beri masukan. Beri tanda pada setiap kata atau kalimat yang sekiranya ingin kita kritik. Tulislah semua pemikiran kita setelah membaca habis tulisan tersebut. Jika kita masih memiliki waktu agak lama, kita bisa membaca ulang tulisan itu agar tidak ada yang terlewat. Lagi pula, dengan kita bersikap serius seperti itu, tentu komentar kita akan didengar dengan serius pula. Sebaliknya, jika kita seperti ogah-ogahan dalam memberi kritik, jangan harap penulis yang kita kritik itu akan mendengarkan kita.

Kritik Tulisannya, Jangan Penulisnya!
Yup. Ketika ingin mengkritik sebuah tulisan, alangkah baiknya kita jangan menggunakan kata “Kamu”, tetapi gunakanlah kata “Tulisan kamu”. Ingat, yang harus kita kritik adalah tulisannya, bukan penulisnya. Jadi jangan sampai kalimat seperti ini terucap dari mulut kita ketika kita ingin mengkritik tulisan seseorang, “Kamu kayaknya kurang bagus kalau menulis puisi! Kamu harus banyak belajar lagi, jangan cuma modal semangat saja.” Gubrag! Bisa dipastikan penulis tersebut akan sakit hati dan mungkin tidak akan pernah mau menulis lagi. Begitulah, sekali lagi, jangan kritik penulisnya, tapi kritiklah isi tulisannya, seperti: plot, ending cerita, karakter tokoh, setting, dan lain-lain. Mengenai hal ini, Melissa Donovan, kontributor situs Writing Forward, mengatakan, “You are judging the work, not the individual who produced it.” Sekali lagi, yang harus kita kritik adalah hasil kerjanya, bukan individunya.

Mulailah dengan Pujian
Ketika kita ingin memulai sebuah kritikan, kita harus selalu mengawalinya dari sesuatu yang bagus-bagus dulu. Maksudnya begini, jika kamu membaca tulisan seorang penulis pemula, dan ternyata tulisan itu sangat buruk, kita cari dulu apa sih yang bagus dari tulisan tersebut. Sebab, seburuk apa pun sebuah tulisan, pasti masih memiliki kelebihan. Entah itu ide ceritanya, atau tokoh-tokohnya yang unik, atau hal-hal yang lainnya. Jadi, dengan begitu kita bisa memulai dengan sebuah pujian. Misalnya seperti, “Waw, ide ceritanya menarik banget. Asli, gue aja nggak kepikiran untuk nulis cerita kayak gini. Kok, elo bisa sih dapet ide keren kayak gini? Salut gue!”

Jika ada seseorang yang berkata seperti itu, pasti kita tersanjung bukan main. Iya, kan? Tapi, berikanlah pujian itu dengan jujur. Maksudnya adalah sesuatu yang kita puji itu memang benar-benar bagus. Jadi kita terbebas dari yang namanya kebohongan. Lagi pula, kalau pujian kita tidak tulus dan jujur, pasti penulis tersebut akan sakit hati dan tidak akan pernah percaya lagi sama komentar-komentar kita. Setelah memberi pujian, baru deh kita beri masukan seperti, “Kayaknya kalau cerita ini dimulai dari sang tokoh yang lagi buang ludah, pasti jadinya keren, deh. Soalnya kalau awal ceritanya ‘matahari pagi ini indah sekali...’ atau ‘pada suatu hari...’ itu sudah sering banget dipakai dan sudah klise.” Dan seterusnya....

Dengan mengkritik seperti ini, tentu lebih mudah diterima oleh seseorang yang sedang kita kritik.

Gaya Menulis Setiap Orang Berbeda
Sebelum mengkritik, ada baiknya kita harus tahu betul gaya menulis seperti apa yang kita suka, dan cobalah pisahkan hal tersebut ketika kita ingin memberikan kritik. Jangan sampai mentang-mentang kita tidak suka cerita dengan ending terbuka, lantas kita menganggap bahwa cerita teman kita itu jelek, hanya gara-gara cerita teman kita itu menggunakan ending terbuka. Bisa dipahami kan maksud saya?

Hindari Ungkapan Negatif
Kritiklah dengan bahasa yang santun, dan hindari penggunaan ungkapan-ungkapan negatif seperti: “Tulisanmu ini membosankan!”, “Tema cerita seperti ini udah basi!”, atau “Dari tahun ke tahun tulisanmu nggak pernah berubah. Statis!”, dan lain semacamnya. Ada baiknya jika kita gunakan ungkapan-ungkapan positif seperti ini: “Ceritamu ini akan menjadi lebih menarik jika...”, “Sepertinya ceritamu ini akan lebih menggigit jika...”, dan lain semacamnya.

Saya ingatkan sekali lagi, bahwa kita mengkritik adalah untuk membantu, bukan untuk menyakiti.

Beberapa Kesimpulan dalam Mengkritik
Di bawah ini saya akan memaparkan beberapa kesimpulan dalam mengkritik yang mudah-mudahan bermanfaat:
  • Jangan mengkritik jika kita tidak diminta untuk mengkritik
  • Berikan pendapat yang bagus dan jangan buang-buang waktu kepada penulis yang hanya mementingkan egonya
  • Kritik tulisannya, bukan penulisnya
  • Awali dari sesuatu yang bagus, kemudian baru kita paparkan kelemahannya
  • Berusahalah untuk objektif, dan pisahkan antara gaya yang kita suka dengan tulisan yang ingin kita kritik
  • Beri usulan yang paling kuat demi kemajuan penulis. Jangan beri usulan yang tidak jelas
  • Bersabarlah dan teruslah belajar untuk bisa mengkritik dengan baik
Sepertinya sekian dulu tulisan ini saya buat. Jadi, sudah siapkah kita menjadi pengkritik yang baik?

Semoga bermanfaat!

Wassalam,


Catatan: Tulisan ini saya kembangkan dari tulisannya Melissa Donovan yang berjudul How to Give Good Critique, yang dimuat di situs Writing Forward.com


Tentang Sindikat Penulis

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On 16 komentar

Sindikat Penulis adalah situs yang akan membahas tentang segala hal yang berhubungan dengan tulis-menulis. Kami harap situs ini dapat memberikan manfaat kepada anda semua. Selamat menikmati!

Salam,


Tanya-Jawab

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On 7 komentar

Bagi teman-teman yang ingin bertanya tentang masalah tulis-menulis atau ingin curhat karena akhir-akhir ini tidak bisa menulis bagus, silakan kirim pertanyaan di kotak komentar di bawah ini. Insya Allah kami bisa memberikan jawaban yang, meskipun belum tentu memuaskan, setidaknya kami senang bisa membantu. Mari belajar bersama! Mari menulis!

Wassalam,


Related Posts with Thumbnails
Diberdayakan oleh Blogger.