Menulis adalah Ekskresi

Posted by Penulis Cilik Punya Karya On Minggu, 08 November 2009 3 komentar
Menulis itu apa?

Menulis adalah ekskresi: mengeluarkan banyak khayalan yang ada di dalam diri, di dalam angan supaya kondisi kita kembali normal adanya. Mari kita sederhanakan. Ekskresi muncul karena input. Kita makan maka keluarlah itu ampas melalui keringat atau melalui sesuatu yang saya tidak tega menyebutkannya. Ketika kita ditempa sekian banyak informasi yang datang, input itu mau kita apakan?. Dibiarkan menjejal di kepala? Kalau sesudah makan kita nggak ekskresi, badan bakal jadi septictank yang berjalan. Kita pasti kesakitan[1].

Kalau kita sudah melahap informasi—atau dipaksa memakannya—kejadiannya bakal sama. Pening kepala ini kalau tidak segera mengeluarkannya. Itulah mengapa saya bilang menulis itu ekskresi, sebab menulis bukan saja terkait dengan kesehatan tubuh, melainkan kesehatan mental juga.

Menulis bisa dianalogikan dengan apa saja. Kalau bermusik adalah seni melukis dengan nada, melukis adalah seni ekspresi menggunakan kanvas, maka menulis itu apa? Menulis itu merupakan seni melukis dengan kata. Melaluinya kita dapat mengekspresikan kegundah-gulanaan mengenai fenomena; mendeskripsikan khayalan-khayalan absurd didalamnya, dan merekonstruksi dunia yang ada di dalam benak manusia.

Dalam kaitannya dengan hal yang terakhir, seorang filsuf China pernah mengatakan bahwa, dengan menulis kita dapat menurunkan bulan yang ada di atas angkasa menuju dunia manusia.

Meski terlalu berlebihan, saya meng-akur-kan pernyatan filsuf itu. Mudah-mudahan kamu mengerti tentang ini :).

Nah, setelah membicarakan perumpamaan menulis yang kurang serius. Sekarang saya akan memaparkan usaha menulis menurut pandangan saya pribadi.

Bagi saya, menulis adalah usaha untuk masuk ke dalam. Menulis adalah memasuki jiwa untuk memecahkan misteri diri kita selaku manusia. Menulis adalah kegiatan meneropong neumena[2] yang ada dibalik fenomena. Ada sebuah cerita pendek mahsyur, yang bakal menjelaskan bagaimana kegiatan menulis dapat menjadi kegiatan meneropong neumena. Ceritanya begini:

Suatu saat seorang pemuda kebingungan mencari kunci di beranda rumahnya. Setelah sejam dua jam mencari dan tidak menemukan kunci, seseorang bertanya padanya,

“Dimana kau jatuhkan kunci itu?”

Sambil garuk-garuk giginya (?) si pemuda berkata, “Saya jatuhkan di dalam rumah.”

“Aneh-aneh saja kau ini! Kalau terjatuh di dalam rumah kenapa mencarinya di beranda?”

Dengan mimik lugu, pemuda itu bilang, “Abisnya di dalam gelap, sedangkan diluar terang!”

Bagi saya cerita itu begitu membekas di dalam diri saya. Saya menganggap bahwa dia—yang menulis cerita—adalah manusia yang senantiasa meneropong pendalaman dirinya. Ia menemukan bahwa manusia selalu mencari jawaban di luar jiwa. Manusia takut untuk mengeksplorasi padahal diri manusia kaya akan jawaban kehidupan. Manusia takut untuk ‘mengekskavasi’ padahal di dalam diri manusia terdapat penyembuh bagi kesakitan jiwa; padahal di dalam jiwa terdapat antibodi yang bakal menyembuhkan kegelisahan—yang jika dibiarkan dapat menyebabkan manusia jadi penghuni tetap rumah sakit jiwa.

Menulis berarti menguak berbagai macam penyadaran. Menulis berarti membedah dan menemukan diri menggunakan teropong neumena. Seandainya neumena ditemukan, maka penemuan itu akan memperkuat penghambaan diri seseorang pada-Allah-nya.

Dengan menulis, saya senantiasa berusaha untuk menghadirkan diri sebaik-baiknya dihadapan Dia, dihadapan Allah selaku pemilik saya.

Menulis itu apa?

Bagi saya, menulis adalah kegiatan melawan. Saat menulis, dalam diri saya tumbuh kesadaran bahwa das sein tidak sesuai dengan das sollen, bahwa realita tidak sesuai dengan bayangan di dalam benak. Dengan menulis saya menyadari bahwa realitas sosial, tidak sesuai dengan kemanusiaan[3]. Saya menyadari bahwa banyak anak manusia mati karena negara tidak memberikan jaminan kehidupan untuknya. Saya menyadari bahwa banyak ketimpangan terjadi; menyadari bahwa banyak dari kalangan kita yang dizalimi, maka di sanalah menulis menjadi sebuah alat untuk mengembangbiakan ‘subversivisme’. Maka untuk itulah saya berharap kalian mau menulis dan menjadikan realitas sosial sebagai pemantik untuk mengabarkan kebobrokan dan penindasan sistemik yang nyata dan merajalela.

Ayo, jadikanlah tulisan sebagai lambang keterjijikan diri pada sistem bobrok yang menghegemoni ini. Ayo muntahkan! Ayo, jadikanlah realitas sosial sebagai detonator jiwa. Ayo ledakan! Sebab, menulis adalah berkata-kata, sebab berkata-kata adalah: SENJATA![4].

Menjadi Penulis Hebat
Nah, sekarang kita bicara bagaimana caranya jadi penulis hebat. Gimana caranya? Saya juga tidak tahu, karena saya jarang merasa hebat. Lagipula hebat itu kan relatif. Kehebatan menurut kamu mungkin berbeda dengan kehebatan saya.

Kamu mungkin menganggap bahwa penulis terhebat di Indonesia itu adalah Dee Supernova, Djenar Maesa Ayu, atau Helvy Tiana Rosa. Namun, bagi saya, penulis terhebat adalah Pramudya Ananta Toer[5]. Itulah, mengapa saat ini saya jadi kesulitan membuat tips untuk menjadi penulis hebat (karena saya merasa seperti Liliput di hadapan ke-Gulliveran-nya Mas Pram). Tapi baiklah, karena saya harus profesional, maka saya bisa berpura-pura, melakonkan diri jadi penulis hebat, dan kamu pun jangan lupa untuk membayangkannya.

“Bagaimana caranya menjadi penulis hebat?”

“Hm... saya bisa menyelesaikan bahasan ini hanya dengan satu kata, yakni, menulislah!”

“Ah, kamu mah nge-bete-in aja.”

“Lha, mau gimana lagi? Ya satu-satunya cara cuma begitu. Nulis itu kan sama aja dengan naik sepeda, berenang, atau main bilyar. Kalau mau bisa jadi penulis hebat, ya harus praktek! Jalani proses penulisan. Jangan menyerah.”

“Kalo jawabannya cuma gitu doang, saya jadi nyesel memuat tulisan kamu di situs keren ini! Perasaan dalam pelatihan-pelatihan penulisan, sarannya nggak gitu doang, deh. Kamu menyesatkan saya, ah!”

“Ye, dibilang nggak percaya. Nih, saya kasih tahu. Begini, meski kamu ikut pelatihan dua ribu kali sama Ustad Roy, kamu tetep nggak akan jadi penulis hebat, kalau kamu nggak menulis. Fungsi pelatihan penulisan itu sebenarnya bukan apa-apa selain memotivasi, supaya kamu mau nulis, dan mau menjalani proses untuk menjadi penulis hebat."

“Perasaan nggak gitu-gitu amat. Seingat saya, kalau mau jadi penulis hebat, harus baca buku.”

“Nah, itu tahu, tapi apa baca buku itu menulis?. Baca buku ya baca buku! Bukan menulis!"

“Tapi, bukannya dari membaca, kita bisa dapat inspirasi, dapat pemantik seperti yang kamu bilang di atas tadi?”

“O, nanya tentang inspirasi, toh? Okey saya kasih tahu. Siap mendengarkan?”

“Siap!”
***
Banyak orang yang ingin menulis tetapi tak mendapat inpirasi. Dia menunggu-nunggu inspirasi seolah-olah inspirasi adalah bayi yang bakal jatuh dari paruh bangau. Tidak-tidak! Jangan seperti itu, jangan menunggu, seolah-olah inspirasi akan datang langsung begitu saja. Undanglah inspirasi datang. Pancinglah dia!

Bagaimana cara memancingnya?. Ada banyak cara, misalnya dengan jalan-jalan, nonton film, atau membaca buku. Kita akan bahas satu persatu.

Jalan-Jalan
Kamu bisa melakukannya ke mana saja. Misalkan melalui jalan yang jarang kamu lalui. Lihat keadaan, lihat pagar, lihat tukang surabi, lihat selokan yang kamu lewati. Nah, itu yang keuangannya pas-pasan kayak saya. Kalau kamu punya uang banyak, kamu bisa pergi naik mobil ke daerah-daerah yang belum pernah kamu singgahi; tinggal di pedesaan dan berinteraksi dengan orang-orang baru yang bakal membuat kamu fresh. Atau kamu bisa pergi ke pantai, atau naek gunung, dan lain sebagainya.

Nonton Film.
Film ini benar-benar membantu, untuk mendatangkan sesuatu yang kita obrolkan. Mengenai film, saya pernah punya pengalaman pribadi. Suatu waktu saya pernah iseng menonton film India. Film itu mengisahkan tentang cinta (standar), dan di film itu, ada dialog yang mengharuskan saya untuk menulis, karena saya terinspirasi.

Suatu saat Sanjay membuat Prita menangis. Prita masuk ke kamar dan mengurung diri selama berhari-hari. Karena keperihan yang dalam, saat disuruh orang tuanya makan ia selalu menolaknya.

Orang tua Prita khawatir kesehatan anaknya, maka diutuslah nenek yang sangat menyayangi Prita. Setelah mengetahui apa yang menyebakan tubuh Prita menjadi kurus, neneknya memberikan pertanyaan yang menyadarkan, “Jika hati terluka, mengapa justru perut yang kau sakiti?.”

Jdak! Kalimat-kalimat itu mengiang-ngiang di kuping. Setelah selesai nonton, saya langsung menulis dan mengembangkan perkataan itu dalam bentuk essay.

Membaca buku
Kata seseorang, seorang penulis yang baik adalah seorang pembaca yang baik pula. Seorang kawan mengatakan demikian. Membaca adalah salah satu cara terbaik dalam mengembangkan imajinasi dan mendatangkan inspirasi. Jika kamu menonton, kamu terlalu dimanjakan oleh visualisai sehingga benak kamu tidak terlalu memainkan imajinasi. Membaca itu berbeda, dengannya kita dapat membuat imajinasi yang tak terkira.

Pokoknya, cobalah baca novel, ensiklopedia, atau kumpulan puisi, essay, dan cerpen. Jika bacaan itu bagus, saya yakin kamu bakal tersentak dan tiba-tiba... inspirasi yang kamu tunggu-tunggu itu datang.

“Bang, kalau inspirasi sudah datang, apa yang harus saya lakukan?”

“Bang bang bang ... kamu yang BANGKONG![6]."

“Hehe... Gimana, dong?”

“Kamu ini kayak anak kecil yang maunya disuapin! Pokonya nulis! Nulis! Nulis! Dan nulis! Kalau udah dapet inspirasi nulis! Kalo belum dapet, undang itu inpirasi, terus nulis!”

“Kalau udah dapet inspirasi, harus segera ditulis ya, Bang?.”

“Ya jangan didiemin. Kalo dalam prinsip bisnis, uang itu harus diputerin supaya nggak abis, nah... inspirasi juga kayak gitu! Kalau inspirasi nggak langsung ditulis, nanti jadi basi. Kalau udah basi rasanya nggak enak, jadi hambar!”

“Hambar kayak nasi goreng yang kemaren abang masak itu, ya?” “Heu... kumaha sia we lah!. Tapi gimana nih, udah dapet poinnya belum?”

“Lumayan! Pokoknya kalau ada inspirasi langsung ditulis.”

“Nah, begitu dong! Sekarang dari obrolan ini, kamu dapet inspirasi nggak?”

“Dapet, Bang!”

“Kalau gitu langsung tulis. Omong-omong inspirasinya tentang apa?”

“Hehehe... jangan, ah. Nanti marah!”

“Ye, mau bikin penasaran, ya? Tentang nasi goreng, ya?”

“Bukan!”

“Tentang apa atuh?”

“Tentang upil! Upil yang nyempil di gigi abang!.

“Huarggggggggggh!”

Setelah Mendapatkan Inspirasi, Kemudian menulislah!<>Finding Forester mengajarkan bahwa di awal menulis kita harus melakukannya dengan hati. Setelahnya, baru gunakan pikiran.

Menulis dengan hati membuat penulisan kita lancar, tidak patah-patah, karena dalam menulisnya kita tidak menggunakan pikiran. Karenanya, wajarlah setelah tulisan selesai, kamu pasti akan menemukan tulisan yang tidak terstruktur. Hei! Jangan dulu kecewa, karena seperti halnya sesuatu yang tertumpah, kata-kata yang tertumpah bakal ada yang tidak klop dengan tema penulisan. Nggak apa-apa, jangan cemas, karena rata-rata penulis sekaliber apa pun pasti memiliki pengalaman seperti itu.

Setelah tertumpah baru tulislah dengan Pikiran. Edit tulisan kamu. Strukturkan! Kamu pilih-pilah kata, bolak-balikkan susunannya sampai pas seperti yang kamu inginkan, keinginan yang sekiranya sesuai dengan pemahaman pembaca yang bakal menilai kerja kamu. Setelah edit berulang kali. Selesailah itu tulisan. Lalu?

Sebarkan!

Mengenai sebar-menyebar tulisan ini juga bukan sesuatu yang mudah. Di awal penulisan kamu sudah harus mengetahui kalangan mana yang kamu bidik. Kamu sendiri udah tahu kan, kalau secara alamiah, ketika ada sesuatu yang disuka, pastilah ada sesuatu yang tidak disuka. Kalau kamu menulis sesuatu yang berat, misalnya ideologi dengan bahasa yang ilmiah maka ‘jangan kasih’ itu tulisan ke orang-orang yang kurang faham mengenai bahasan yang menjelimetkan. Kecuali, kamu mampu membahasakan dengan baik, sesuai dengan bahasa kalangan yang ingin kamu berikan.

Maksudnya bagaimana?

Begini, saya akan menuliskan pandangan mengenai ideologi. Menurut Marx, ideologi adalah kesadaran palsu, tetapi menurut Annabhani berbeda lagi. Ideologi merupakan sebuah pemahaman fundamental, pemahaman yang radic mengenai alam semesta manusia dan kehidupan. Yang dari landasan pemahaman itu, direkonstruksi way of life mengenai kehidupan.

Kalau saya bicara pada orang-orang kayak kamu, maka kita bisa nyambung, tanpa perlu menjelaskan lagi mengenai ‘kesadaran palsu’, makna ‘fundamental’, ‘radic’, ‘rekonstruksi’ dan ‘way of life’. Tentang hal itu, kita sudah bisa connect satu sama lainnya. Tapi coba utarakan hal itu pada ibu-ibu yang suka jualan gado-gado dekat kosan kita. Wah, pasti sangat sulit untuk dipahaminya.

Oleh karenanya, saat melakukannya, kamu harus menulis tulisan yang sesuai dengan segmentasinya. Sesuaikanlah! Pas-kan-lah, supaya kata-kata kamu, supaya pemikiran kamu bisa segera dimamah biak dan dicerna.

Saat informasi yang kamu sampaikan sudah pas dengan segmentasinya, kemudian massif dibaca ‘kalangannya’. Maka lama-kelamaan kalangan itu akan mengalami keinginan ekskresi seperti yang dulu pernah kamu rasakan. Mereka akan mengalami keinginan untuk memuntahkan, dan meledakkan.

Menyambung dengan bahasan kita sebelumnya, maka sejak saat tulisan itu dibaca, kamu sudah berperan sebagai pengembangbiak ‘subversivisme dalam berpikir. Maka sejak saat itulah kamu menjadi seorang yang ikut berpartisipasi untuk menutup zaman yang usang, kemudian menggantikannya dengan zaman yang baru. (Divansemesta)


Catatan Kaki:
1. Secara alamiah/hukum alamnya memang begitu. Air yang terus-menerus ada disebuah walungan (walungan= kolam). Lama-kelamaan akan mendangkal dan keruh seandainya air tersebut tidak mengalir. Komputer juga demikian. Coba, masukin data kedalam komputer 20 giga kita dengan film-film yang kapasitasnya ternyata lebih dari 20 giga, maka komputer kita bakal error. Ini sama saja dengan otak manusia.< 2. Neumena adalah sesuatu yang tersembunyi di balik fenomena. Orang-orang di Timur mengatakan apa yang disebut filosof barat tentang hal ini (neumena) sebagai hikmah.

3. Bukan kemanusiaan-isme atau humanisme. Saya tidak berpihak pada humanisme tapi saya berpihak pada kemanusiaan.

4. Saya membaca judul dari sebuah buku tentang kata-kata adalah senjata saya lupa bukunya apa.yang pasti buku itu terbitan INSIST. Cari, deh.

5. Coba kamu baca buku Tetralogi Pulau Buru-nya dia, mungkin anda bisa membandingkan sudut pandang kita mengenai kehebatan ini.

6. Kodok

3 komentar to Menulis adalah Ekskresi

  1. says:

    R'nezt Arkanezt Siip! Makasih kak!
    Pantaslah saya ngerasa menyia2kn, gara2 dpt inspirasi tp ga lgsg dtulis. Alhasil, inspirasiny ilang
    (_ _')

  1. says:

    Sindikat Penulis @Rasyid Nezt: Sama-sama, Mbak. Iya, kadang kalo inspirasinya ilang, kesel bukan main :)

  1. says:

    Anonim gila nih tulisan. bahasanya mantapp. penulisnya pasti tukang baca pikiran orang...gue kenal nih penulis artikelnya..pasti penulisnya bukan abang-a-bang-kong. juga bukan ustad roy.

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
Diberdayakan oleh Blogger.